Chapter Four : Damian's POV

146 7 2
                                    

Aku mengacak-acak rambutku yang mulai berantakan, semua laporan ini membuatku pusing.

"Excuse me, sir, ini laporan yang harus kau terima dan..."

Aku berusaha menjulurkan leherku untuk melihat ke arah Phoebe. Tumpukan laporan di atas mejaku sudah seperti barikade yang membatasi antara aku dan dunia luar -- tapi tidak cukup tinggi untuk menghalangiku melihat ke arah wanita yang sedang mendekati mejaku tanpa sedikitpun mengurangi penjelasannya.

Ah...melihatnya saja sudah cukup untuk mengurangi beban di kepalaku saat ini. Aku tidak mendramatisir, tapi Phoebe seperti punya kekuatan untuk dapat mengendurkan syaraf-syarafku yang tegang.

Phoebe masih saja melanjutkan penjelasannya mengenai laporan yang sedang ia pegang tanpa melihatku. Saat-saat seperti ini yang membuatku ingin mengunci wajahnya dengan jemariku dan memastikan sepasang mata coklat itu hanya menatapku -- dan mungkin aku akan mendapatkan bonus melihat wajahnya yang merona malu, atau yang terburuk : sebuah tamparan.

"...jadi kau harus dapat menyelesaikannya paling lambat...oh, astaga."

Aku mengerjap, kembali ke dunia nyata. Mata coklat itu membulat seakan sedang melihat hantu.

Dalam hitungan detik, Phoebe sudah berada di hadapanku. Tangan kanannya terjulur ke arahku dan detik selanjutnya ia menarik dasiku.

"Apa yang membuatmu mendapatkan kantung mata ini??"

Aku menelan ludahku dengan susah payah. Sial, aku membuatnya marah. Phoebe paling tidak suka jika aku terlalu maniak bekerja. Dan beberapa hari ini memang aku memaksimalkan waktuku untuk memeriksa semua laporan yang  menggunung di mejaku.

Tidak dapat berkelit, aku hanya bisa nyengir.

"For God's sake, Damian. Sebentar lagi ada rapat dan aku tidak ingin orang-orang itu menilaimu buruk hanya karena penampilanmu saat ini." Phoebe mengeluh lalu menghempaskan dasiku kembali ke letak semula.

"Apa seburuk itu?"

Ia melengos, nampaknya aku mengajukan pertanyaan yang salah. Tanpa aba-aba, ia menarik dasiku kembali dan memaksaku mengikutinya sampai jendela kantor. "Duduk di sana dan bersantailah."

Aku memandangi sofa panjang di depan jendela lalu menoleh ke samping hanya untuk mendapati Phoebe yang sudah melenggang pergi...

She really has a nice body...

Sial, apa yang kupikirkan? Tampaknya aku memang harus menjernihkan pikiranku. Laporan-laporan itu mengambil alih akal sehatku.

Kuputuskan untuk tiduran di sofa sebentar, toh, tidak ada juga yang akan ke ruanganku dalam waktu dekat ini. Aku yakin mereka semua sudah pergi makan siang.

Rasanya baru beberapa saat aku memejamkan mata ketika aku merasakan sesuatu yang basah menempel di kedua kelopak mataku.

"Hey, apa..."

"Shhhh... Jangan bergerak."

"Phoebe? Apa yang kau tempelkan ke mataku?"

"Itu kantong teh. Paling tidak itu akan membantu menyegarkan matamu. Kau terlihat sangat buruk.

"Seburuk itukah?"

Aku mendengar gemerisik pakaian tepat di telinga kananku. Kutebak, Phoebe pasti bergeser ke arahku.

"Yap."

Suaranya sangat dekat, "Phoebe, jangan bilang kau sedang duduk di lantai."

"Well... I am."

"Hey, kau bisa bilang dan aku akan..."

"Kau tidak perlu mengubah posisimu sekarang, Damian." sekali lagi ia memotong kata-kataku. "Kau lebih membutuhkannya, lagipula aku cukup nyaman di sini."

PARAMOURWhere stories live. Discover now