CHAPTER 2

53.7K 5.8K 399
                                    


Aroma perang dingin jelas masih menguar di meja makan pagi itu. Empat dari lima personil keluarga Aldebaran Bachtiar memindahkan makanan yang tersaji di meja tanpa suara. Kemudian seakan berlomba menghabiskan lebih dahulu untuk beranjak dari meja besar berbentuk oval. Seakan semakin lama di sana, maka semakin terintimidasi rasanya.

"Astaga...," gerutu Kalila setelah menerima piring kosong dari suaminya. Keempatnya serentak menoleh ke arah Kalila yang melanjutkan dengan decakan. "Ck. Tolong ya, tolong! Ini yang lagi makan satu keluarga atau segerombolan musuh?" lanjutnya seraya meletakkan tangan di pinggang.

"Teteh, Kaka, Defka," lanjut Kalila dengan nada mengancam. "Bunda nggak abis pikir, kenapa kalian sampai senekat itu ngebantah perintah orang tua. Asal tau aja, Ayah sama Bunda itu ngelarang karena emang nggak suka kalo Teteh sampai pergi ke tempat begituan!"

"Mau gimana lagi, Nda. Itu kan acaranya Emma. Dan bukan salah Luna 'kan kalo dia ngadain di sana," jawab Aluna dongkol.

"Harus gitu datang ke sana?"

"Ya ... kayak Bunda aja gimana, kalo temen Bunda ngundang jauh-jauh hari. Biar kata tempat acaranya di night club, emang enak nggak dateng?" Aluna malah membalik tanya.

"Nda, 'kan Teteh jujur juga. Kalo misalnya Teteh ngaku acaranya di kafe, padahal aslinya di night club, apa nggak lebih parah?" bela Defka yang merasa ikut tertekan akibat perlakuan protektif orang tuanya.

"Ayah nggak pernah ngajarin buat bohong ya, De," sergah Al seketika.

"Makanya itu, Teteh jujur dan memang hanya menghadiri. Nggak macem-macem juga," tambah Kafka ikut membela.

"Kalian ini, soal urusan bela membela pasti jagonya." Al memijit pelipisnya. "Sudah tempatnya ngawur, pakai cara kabur pula."

"Semua ini nggak bakal kejadian kalo Ayah nggak ngelarang," ucap Aluna dengan nada tertekan. "Dan Luna yakin, separo alasan Ayah ngelarang itu karena Luna pergi sama Judid 'kan? Iya 'kan?" berondong Aluna yang kemudian berdiri dan berbalik badan menuju tangga.

"Teteh, duduk!" perintah Al dingin.

Aluna menghentikan langkah, kemudian berbalik menatap tajam ke arah ayahnya. Butiran air mata yang tadinya hanya menggenang tiba-tiba sudah meluncur melewati kedua pipinya.

Al terkesiap, dadanya terasa terhimpit saat menemukan mata putri kesayangannya berkaca-kaca. Rasa bersalah langsung menjalar dan menghinggapi sekujur tubuhnya, membuatnya ingin berdiri dan segera mendekap Aluna agar bisa menghentikan tangisnya. Tapi, Al tahu, kelemahan dia yang seperti ini akan selalu dimanfaatkan Aluna. Aluna mewarisi kemampuan memanipulasi perasaan orang lain agar iba dan menuruti kehendaknya. Mungkin bakat ini diturunkan dari Agil, om kesayangan yang selalu dipanggilnya papah.

"Teh," panggil Kalila pelan. "Duduk dulu, Sayang. Kita belum selesai bicara."

Defka berdiri dan merangkul bahu Aluna yang turun naik akibat isakan. Membimbing Aluna agar kembali duduk di kursi yang sebelumnya ditempatinya.

"Teh, jangan ngambekin Ayah kek gini. Nanti Ayah sedih dan uang jajan gue sama Kaka dipotong semena-mena," bujuk Defka pelan.

Aluna memutar mata. Mengenali latar belakang Defka mau merangkul dan ikut membujuknya adalah semata karena ketakutan akan disunatnya uang bulanan dari ayah mereka. Mau tak mau Aluna duduk kembali di tempatnya, karena berisiko untuk keras kepala. Bisa jadi ATM-nya yang dikuras kedua adik kembarnya. Apalagi upah berupa sepatu sport keluaran terbaru juga belum ditunaikannya, iming-iming karena membantunya kabur dan menikmati pesta meski ujungnya tertangkap tangan juga.

Game Point! [ Completed]Where stories live. Discover now