CHAPTER 4

45.2K 5.8K 484
                                    

"Ayah ngamuk banget ya, Pa?"

Deru mobil dan klakson bersahutan ikut meramaikan teriknya Jakarta. Seakan tak cukup mumet dengan kondisi pikirannya yang harus menyiapkan jawaban seandainya harus berkonfrontasi dengan Al, kondisi jalanan ikut berkontribusi memperkeruh keadaan. Kemacetan Ibukota memang menyumbang sekian persen dalam proses penuaan dini, pikir Aluna. Siapa yang nggak cepet tua, mau ke tempat yang jaraknya cuma sepuluh kilometer aja bisa satu jam.

Aluna memijit pelipisnya beberapa kali sebelum mendengar deheman om kesayangannya, Agil, yang sejak kecil dipanggilnya Papa. Alis Aluna terangkat, siap menyimak jawaban Agil yang sudah bisa ditebaknya. Pendek, dan langsung ke sasaran. Begitu biasanya.

"Nggak ngamuk, cuma nggak suka kamu bohong," jawab Agil dengan nada datar andalannya. Hah, kalau saja Agil tiap bicara bisa sampai dua puluh kata, mungkin Aluna sudah qasidahan saking senangnya.

Aluna membuang napas kencang, kemudian memutuskan untuk diam dan memejamkan mata sementara Agil berkonsentrasi menaklukkan kemacetan. Kadang, mengajak Agil bicara jauh lebih melelahkan daripada adu argumentasi dengan Al. Karena Agil memiliki kemampuan untuk mematikan lawan dengan omongan, dengan kata lain tak ada sela lagi untuk ngeles atau membela diri. Bahkan, tak bisa dibantah.

"Luna tuh nggak bermaksud bohong, mana tau anak badung Papa Agil itu pulang duluan," dumelnya begitu membuka mata. "Pakai berantem lagi."

"Kalo Gibran nggak pulang duluan, toh kamu tetap nggak makan bareng dia 'kan?" sela Agil. Yang begini omongan Agil yang membuat Aluna memajukan bibirnya, malas menanggapi.

"Kenapa sih Ayah gitu banget ama aku?"

"Mau jawaban jujur atau jawaban yang bikin kamu senang?"

"Dua-duanya, Pa."

"Karena Ayahmu itu lelaki playboy yang tau persis gimana otak lelaki kalau pacaran," gumam Agil lebih pada dirinya sendiri.

"Emang, Papa Agil enggak gitu?"

"Nggak separah Ayahmu."

"Beuh ... emang otak lelaki gimana, Pa, kalo pacaran.

"Ya ... begitu." Aluna memutar bola mata mendengar jawaban Agil yang minta ditabok. "Apalagi kalo gadisnya kayak kamu."

Bibir Aluna mencibir tapi tak urung ada senyum merekah setelahnya,"Cantik maksudnya?" Jarang-jarang Agil memuji dengan kata-kata.

"Ada cermin di balik sun visor, liat sendiri." Tuh kan!

"Yaelah, Pa. Timbang jawab cantik aja muter-muter."

"Iya, cantik."

"Cantikan mana sama Mama Ghea?" tanya Aluna iseng menyebutkan nama istri Agil, tante yang paling dekat sekaligus komplotan sejatinya.

"Cantikan Mama Ghea," jawab Agil langsung, nyaris kelihatan tanpa berpikir.

"Haish! Basa-basi dikit nyenengin anak kenapa!"

"Papa nggak ahli basa-basi, Princess."

"Serah deh ... serah!"

-oo0oo-

"Ma, aku nginep di sini ya ni malem," ujar Aluna begitu turun dari mobil dan melihat Ghea menyambutnya dengan pelukan.

"Boleh banget, Teh. Tapi kenapa? Takut pulang nih?" cerocos Ghea. "Iya, di sini aja. Tunggu Ayahmu lupa ngamuknya." Merangkul bahu Aluna dan mengajaknya ke kamar tamu.

Aluna nyengir lebar, kemudian mengangguk. Tak ada satu pun hal yang bisa disembunyikannya dari Ghea. "Ooh. Males diceramahin Ayah, ketauan jalan sama Judid lagi," tutur Aluna jujur.

Game Point! [ Completed]Where stories live. Discover now