CHAPTER 7

42K 5.2K 633
                                    

"De."

Menghentikan tangannya yang terus menerus menekan tombol untuk mencari acara televisi yang ingin ditontonnya, Defka menyahut,"Eum ... apa, Teh?"

"Lo inget nggak tetangga sebelah rumah kita."

Defka mengerutkan kening tanda berpikir,"Yang kiri apa kanan?"

"Kanan lah."

"Oh ...." Defka melanjutkan kegiatannya, menekan kembali beberapa tombol sampai akhirnya menemukan saluran film kartun. "Mbak Belinda apa gitu panggilannya, yang nikah sama pejabat itu 'kan?"

"Bukan, yang cowok? Adiknya Mbak Bea," jawab Aluna.

"Bang Damar, maksud Teteh? Inget lah. Jadi atlet--." Defka tak menyelesaikan kalimatnya, tanda menyadari satu hal. "Teteh ketemu ya? Atlet bulu tangkis 'kan dia."

Aluna mengangguk santai. "Iya, ketemu di pelatnas. Lo sering ketemu?"

Defka memusatkan perhatiannya kembali ke layar televisi. "Nggak juga, cuman pernah beberapa kali papasan."

"Kok gue sama sekali nggak ingat ya, De? Maksud gue, waktu pertama kali ketemu dia gue nggak notice gitu kalo itu dia. Perasaan berubah banget."

"Ya, mungkin gegara Teteh lama banget nggak ketemu. Rumah sebelah kan juga baru-baru aja ditinggali lagi. Gue juga lupa-lupa inget tampangnya, baru inget lagi waktu nggak sengaja mantengin tivi pas dia lagi main."

"Oh ... emang dulu keluarga mereka pindah ke mana gitu, De?"

Defka mengangkat bahu,"Nggak tau gue kalo soal itu. Tanya Bunda gih."

"Eh ... nggak, ah. Gue cuma heran, kok gue bisa lupa banget. Haha...."

"Teteh jarang nonton tivi sih," timpal Kalila yang datang tiba-tiba, menyerahkan dua mangkuk es kopyor. "Padahal Damar itu temen main kamu waktu kecil."

"Eh, masa' sih, Nda. Aku dulu akrab banget apa sama dia?" tanya Aluna seraya memijit sisi kepalanya. "Asli, kok Luna lupa ya."

"Iya. Kamunya malah yang keranjingan main sama dia, mana ikut-ikutan mainan cowok pula. Main bola, main kasti, main lari-lari ngepung apaan gitu."

"Aduh ... kok Luna beneran lupa." Aluna benar-benar penasaran kenapa ia bisa melupakan Damar, apalagi mendengar informasi bahwa mereka cukup akrab dan kerap bermain bersama.

"Ya ... mungkin karena itu Damar masuk asrama, keluarganya pindah, kamu jadi nggak pernah ketemu."

"Eng ... Nda, dulu emang kenapa sih keluarganya pindah gitu."

"E ... ciye, kepo nih, ye." Satu suara menyahut. Milik Kafka.

"Ye ... nggak gitu kali, gue lupa, dan ternyata gue ketemu dia di tempat kerja, Ka. Mana dia sok banget nanya gue, kenapa gue gak nanya kabar dia. Gue kan cengo'."

"Trus?" Kali ini Defka pun sampai meninggalkan kelakuannya yang memencet remote begitu iklan menjeda.

"Eh, pas dikasi berkas suruh nanganin cedera dia, gue rada-rada inget namanya," ungkap Aluna. Sebagian dirinya masih menutupi bahwa ia sempat gemetar dan merasa ada sisi hati yang nyeri ketika pertama kali mengingat. "Ya ampun, lo kudu liat muka dia waktu gue bilang 'kita nggak sekenal itu untuk bertanya kabar'. Ya bukan salah gue, guenya lupa."

"Njriiit ... keseleg banget gila," umpat Kafka sambil tertawa. "Gue kalo digituin pasti udah gali kubur aja, nyemplung sendiri. Malu euy."

Defka dan Kalila tertawa mendengar bicara Kafka yang cenderung ceplas-ceplos. Salah satu cara membedakan kedua kembar identik ini adalah dengan memperhatikan cara mereka bicara. Defka lebih kalem dan tertata, sementara Kafka mirip petasan banting. Tak bisa disulut sedikit, langsung meledak ke mana-mana.

Game Point! [ Completed]Where stories live. Discover now