3. Late Night Conversation

95 11 7
                                    

Jumat, 18 Desember 2015
01:30

Myta seharusnya tau, tidak ada yang baik-baik saja antara hubungannya dengan Bian. Tidak akan selama cowok itu terus-terusan berusaha untuk masuk lebih dalam ke kehidupan Myta. Tidak akan selama Myta dengan senang hati membiarkan Bian masuk.

Tidak boleh begitu, seharusnya. Myta mengerti. Ia benar-benar mengerti artinya penghianatan.

Akan tetapi, kenapa bila pada Bian, Myta malah tidak mau tentang resiko yang ada?

Oh, tunggu ... memangnya apa yang Myta harapkan dari Bian?

Begitu juga Bian. Cowok itu tidak tahu apa yang sebenarnya sedang ia lakukan. Ia hanya menuruti apa yang menurutnya harus dilakukan. Entah itu benar atau salah, Bian tidak mau peduli dulu.

Seperti sekarang ini. Setelah Bian berpikir dengan sungguh-sungguh, ia akhirnya bertanya pada Myta apakah Bian boleh meneleponnya atau tidak. Sekali lagi, sebenarnya Bian tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Ia tidak mengerti. Malam ini, Bian ingin lebih. Lebih dari sekedar saling bertukar chat.

Ia ingin mendengar suara Myta.

Sekarang, setelah Myta mengizinkan, tinggallah Bian yang tampak gusar setengah mati sambil berjalan mondar-mandir di depan balkon lantai dua kamarnya yang menghadap langsung ke taman mini milik keluarganya. Berkali-kali Bian menarik napasnya dalam-dalam untuk menenangkan hatinya yang berdegup-degup.

Setelah menelepon tombol call, perlahan, Bian menepelkan handphonenya ke telinga, masih sambil meredakan ritme jantungnya yang melebihi normal.

Tidak sampai dering kelima, telepon itu akhirnya diangkat.

"Assalamualaikum." Sekarang seperti ada sesuatu yang tak kasat mata yang sedang bergerak di dalam perut Bian mendengar Myta menjawab dengan suaranya yang terdengar begitu jernih di telinga Bian. Shit, gue konyol.

"Sok-sokan lo." Oh, semoga nada suara Bian terdengar normal. "Iye waalaikumsalam."

Dari seberang Myta tertawa. "Gue kira suara lo rada cempreng gitu. Ternyata nggak. Lumayan berat gitu ya, enak tuh buat nyanyi."

"Mau gue nyanyiin?"

Sekali lagi, Myta tertawa. "Kagak ah. Nanti gue disuruh bayar."

"Iya dong." Bian mengembangkan senyumnya. "Suara gua mahal."

"Alah, goceng serauk aja. Huahahahaha."

"Enak aja." Meskipun nada suaranya terdengar merajuk, tapi senyum Bian masih tidak berubah. "Ngomong-ngomong suara lo juga bagus. Rada serek-serek tapi jernih gitu ya? Cocok buat duet."

"Serek mah gara-gara belom tidur, Gobs."

Bian tertawa mendengar cara Myta melemparkan ledekannya. "Yaudah sono tidur."

"Nggak deh." lalu nada suara Myta berubah jail. "Katanya, tadi masih ada yang kangen."

Oh, sial. Bagaimana caranya menghilangkan senyum idiot yang langsung timbul di wajah Bian? "Sok unyu lo."

"Yaudah gue tutup. Bye. Tututut." Bian mengerutkan keningnya. "Nomor yang Anda tuju sudah mematikan teleponnya. Harap periksa kembali kata-kata yang sebelumnya Anda ucapkan. Terima kasih."

"Ap—"

"Jika sudah sadar, katakan Peta!"

Bian terkekeh. "Peta."

"Oke, sekarang jalan mana yang harus dilalui untuk membawa apel ini kepada Oma Diego?"

"You always know how to make me smile like an idiot, Ta." Tanpa Bian tau, di seberang sana, wajah Myta memanas karena malu. "Thank you."

"What for?"

"For everything you did to me, without you know that means a lot for me."

"Thank you, too, Bian."

Sekali lagi, Bian tersenyum. "What for?"

"For keep being like a gentleman. Just stay beside my best friend. You aren't a liar, are you?"

Susah payah Bian menelan salivanya. Apa yang dikatakan Myta sudah benar. Sudah sangat benar. Seharusnya Bian tahu akan seperti apa kelanjutannya kalau ia tetap menuruti apa yang hatinya mau. Tetapi, memangnya apa yang sebenarnya ia mau?

"Bian? Woy, tidur lo ye?"

"...."

"Wah, songong tidur beneran ini orang."

"Lusa ketemuan, yuk?" Saat tidak kunjung mendapatkan jawaban atas pertanyaan tiba-tiba Bian dari seberang, Bian menambahkan, "Ngomongin ulang tahunnya Rena."

"Boleh aja." Bian harus menahan dirinya agar tidak memekik kegirangan. "Jadi traktir bubur ayam paling enak se-Depok, kan?"

Ah, Myta. Myta yang selalu ingat hal-hal remeh yang pernah Bian katakan padanya. Hanya dengan hal-hal kecil seperti tadi, itu sudah cukup untuk membuat Bian semakin terkesan lagi dengan Myta.

"Bian, gue tutup ya?" Panik, Bian berusaha secepat mungkin memutar otaknya untuk mencari topik pembicaraan lain. "Udah nggak ada yang mau diomongin lagi, kan?"

"Jangan dulu, Ta."

"Kenapa?"

"Jangan aja."

"Masih kangen? Huahahaha."

"Emang lo ngantuk?"

"Iya. Emangnya lo enggak?"

"Yaudah."

"Yaudah gue tutup ya?"

"Ta?"

"Apa lagi buset?"

"Late night conversation itu emang paling the best ya?"

Myta tampak menimbang-nimbang sebentar. "Suka-suka lo aja. Yaudah bye."

Tanpa menunggu jawaban Bian, Myta langsung menutup teleponnya.

Bian, ya ... jelas. Cowok itu masih tersenyum-senyum seperti orang idiot. Bahkan sampai cowok itu sudah berbaring di atas ranjangnya pun, ia masih memasang senyumnya. Ah, biarlah. Bian tidak mau memikirkan lebih lanjut tentang kata-kata Myta yang tepat sasaran tadi. Walaupun mengganjal, Bian belum begitu peduli.

Sampai ketika Bian ingin memejamkan matanya, handphone Bian berbunyi, menandakan satu panggilan masuk. Senyum Bian langsung mengembang. Tanpa melihat siapa yang meneleponnya, dengan cepat Bian langsung mengangkatnya dan menempelkan handphonenya ke telinga. "Kenapa, Ta?"

Hening di seberang sebelum suara yang sangat Bian kenal menjawab lirih. "Ta siapa?"

Oh, sial. Itu Rena.

Dengan sedikit kikuk, Bian menjawab, "Maksudnya Renata, Sayang."

"Tumben."

"Biar beda dikit dong." Bian tidak begitu mau tau apakah Rena percaya atau tidak. "Kenapa malem-malem gini telepon? Katanya tadi mau bobo?"

"Kangen suara kamu." Jawaban manja dari Rena masih membuat dada Bian berdesir. Ah, ternyata cowok itu masih mencintai Rena. "Nyanyiin dong."

"Dasar kamu, ya." Bian tertawa kecil, sebelum mulai melantunkan lagu untuk mengantar Rena tidur.

Meski setengah mati kecewa karena bukan Myta yang meneleponnya, Bian berusaha tetap terdengar manis di depan Rena. Bukan untuk Rena, tapi untuk Myta. Agar Myta percaya pada Bian, kalau Bian akan terus berada di sisi sahabatnya.

Lagipula, Bian bukan seorang penghianat dan tidak akan pernah berhianat pada Rena.

Iya, kan?

Her Surprise Birthday PartyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang