4. Saturdate

73 10 3
                                    

Sabtu, 19 Desember 2015
19.30


Sebuket bunga mawarlah yang pertama kali Rena lihat saat ia membuka pintu rumahnya. Setelahnya, Rena melihat seorang laki-laki yang membawa bunga itu sekarang sedang tersenyum lebar ke arah Rena. Ah, senyum yang selalu bisa membuat Rena rindu.

Perempuan berbalut dress santai putih bermotif bunga lili biru itu menyelipkan sebentar sebagian rambut sebahunya ke telinga, sebelum akhirnya menerima bunga yang disodorkan kepadanya. "Thank you, Bi."

Bian mengangguk kecil lalu mengecup lembut pipi Rena. "I miss you so damn much."

Meski wajah Rena memerah, tapi ekspresinya malah berubah cemberut. "Apaan sih, kan sering teleponan."

Tidak menjawab pertanyaan Rena, Bian langsung memeluk pinggang Rena lalu menggiringnya menuju mobil Bian yang terparkir di halaman rumah Rena. Setelah membukakan pintu mobil untuk Rena, Bian kemudian berlari mengitari bagian depan mobil dan membuka pintu untuk dirinya sendiri, lalu duduk di bangku pengemudi.

Sejujurnya, Bian tidak ingat kapan terakhir kali mereka "malam mingguan" seperti sepasang kekasih yang lain, kesibukan kuliah mereka masing-masinglah yang menjadi penghalang intensitas pertemuan mereka. Bian bisa saja, bolak-balik Jakarta—Depok hanya untuk bertemu Rena, tapi kalau terus-terusan begitu, mereka berdua jadi tidak bisa fokus pada urusan mereka masing-masing. Lagipula, seperti kata Kevin, kuliah tidak sebercanda itu, kan?

Setelah mengemudi cukup lama, diiringi obrolan-obrolan ringan dengan Rena, akhirnya Bian membelokkan mobilnya ke kawasan Ancol. Memasuki sebuah restoran yang menyediakan view langsung ke laut lepas satu-satunya pantai yang ada di Jakarta itu.

"Re, kamu nggak pake baju ijo, kan?"

Rena mengangkat pandangannya dari handphone di tangannya. "Lah kamu, kan, bisa liat sendiri, Sayang."

"Oh, yaudah bagus deh." merasa tidak mendapat jawaban yang memuaskan, Bian akhirnya memutuskan untuk menggoda Rena. "Mau main ke resto di sekitaran pantai nih soalnya. Kalo pake baju ijo, nanti kamu diculik."

Bian terkekeh sementara Rena tersenyum kecil demi menghargai usaha Bian mencairkan suasana. "Kamu, udah lama kita nggak ketemu, tapi masih garing aja, ya?"

Sekarang ganti Rena yang terkekeh, sementara Bian memasang tampang pura-pura cemberut sambil menempatkan mobilnya di pelataran parkir.

Setelah mereka berdua turun dari mobil dan memasuki restoran, keduanya memutuskan untuk duduk bersamping-sampingan di sudut ruangan. Suasana restoran ini bisa dibilang cukup romantis, didirikan di atas dermaga ancol dengan kaca-kaca yang menjadi pengganti dinding sehingga pengunjung bisa langsung menatap pemandangan laut pada malam hari, pencahayaan lampu yang sengaja diatur remang-remang, lilin yang ada di setiap meja, serta alunan harva dari live music yang ada di tengah-tengah restoran juga menambah romantis suasana.

Rena tahu, Bian memang selalu mengajaknya ke tempat-tempat terbaik yang membuat hatinya jatuh semakin dalam pada pacarnya yang saat ini sibuk membolak-balik daftar menu. Ah, memandangi Bian yang sibuk berpikir sehingga membuat kerutan timbul di keningnya memang menyenangkan.

"Mikirin daftar menu apa mikirin masa depan, sih?" Bian mengangkat pandangannya mendengar Rena yang mengeluarkan suara. "Serius banget keliatannya."

Seorang pramusaji datang untuk menanyakan pesanan kepada Rena dan Bian. Mereka lalu menyebutkan menu pilihan mereka kepada sang pramusaji yang langsung mencatat, kemudian mengulangi menyebutkan apa-apa saja yang mereka pesan.

Setelah kepergian pramusaji tadi, Bian kembali menatap Rena lekat-lekat. Meneruskan obrolan mereka yang sempat terputus. "Masa depan mah nggak perlu dipikirin, Re, tapi dijalanin."

Wajah Rena merona. "Dijalanin gimana?"

"Ya, gitu." Bian nyengir lalu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sekarang, perhatian Bian sudah tercurahkan sepenuhnya pada perempuan cantik di sampingnya.

"Dijalanin ya, Bi?" Bian mengangguk. "Kalo mau jalannya bener, berarti harus ada nahkoda yang bener. Yang bisa mimpin kapal masa depan nanti, biar jalannya tetep tegak dan nggak gampang karam keseret ombak."

Sekali lagi, Bian mengangguk. "Tapi, nggak perlu jadi pelaut buat jadi nahkoda yang baik, kan? Calon arsitek juga bisa jadi nahkoda yang baik."

Rena menunduk, menyembunyikan wajahnya yang semakin merah saja. Bian hanya terkekeh lalu mengacak-acak rambut Rena dengan sayang. "Bian, tanggung jawab, sekarang pasti pipi aku lagi merah banget ya? Padahal aku pake blush on-nya tadi dikit banget lho!"

"Wah, bagus dong," kata Bian sambil tertawa lagi. "Kapan-kapan kalo blush on kamu abis, kan, bisa telepon aku."

Rena mencubit pinggang Bian, yang  langsung mengaduh, lalu menyandarkan kepalanya ke dada cowok itu. "Bi, menurut kamu ulang tahun aku tahun ini, dirayain apa nggak?"

Ulang tahun. Mendengar satu kata itu langsung membuat seluruh indera Bian waspada. Mengingat rencananya untuk kejutan ulang tahun Rena, ada baiknya Rena tidak usah merayakan ulang tahunnya saja. Cukup Bian yang merayakan ulang tahun Rena, bersama teman-teman dekat Rena juga, tentunya.

Ketika Bian baru akan membuka mulutnya, tiba-tiba saja handphone-nya berbunyi. Menandakan masuknya satu pesan Line baru. Bian menegakkan tubuhnya untuk mengambil handphone-nya yang tergeletak di atas meja—membuat Rena mau tak mau juga meneggakkan tubuhnya.

Tata.

Kata itulah yang pertama kali Bian lihat saat ia melihat handphone-nya. Sedikit menggeser posisi duduknya agar Rena tak bisa melihat apa yang ditampilkan oleh handphone Bian, akhirnya Bian memberanikan diri membuka chat dari Myta.

Tata: Eh, kayaknya besok gue nggak bisa dateng, deh.

Oh, shit.

Melihat perubahan ekspresi di wajah Bian, Rena cepat-cepat melongokkan lehernya untuk melihat apa yang sedang Bian lihat. "Siapa, Bi?"

.... dan secepat itu pula Bian langsung mengunci handphone-nya. Membuat layar touchscreen itu langsung berubah gelap. Rena hanya menaikkan sebelah alisnya. "Bukan siapa-siapa, kok."

"Oh, bukan siapa-siapa tapi aku nggak boleh liat." daripada marah, nada bicara Rena lebih ke arah kecewa. "Bukan siapa-siapa. Oke."

"Bukan nggak boleh liat, Re." sekali lagi, Bian menggaruk-garuk kepalanya, mencari solusi atas perkataan sinis Rena. "Itu tadi Dito. Dia ngirimin nilai kuis minggu lalu. Nilai aku jelek, malu kalo kamu liat."

Oh, good Bian. Satu kebohongan akhirnya keluar dari mulut lo.

Hebatnya, Rena tampak terlihat percaya. Ini terlihat dari aura Rena yang langsung berubah ceria lagi. "Besok jalan lagi, yuk?"

Bian yang sedang menatap ombak di kejauhan sana menoleh. "Jalan ke mana?"

"Aku mau cari kado buat papi. Sebentar lagi kan, dia ulang tahun."

"Besok ya, Re?"

Rena mengangguk.

Besok gue janjian jalan sama Myta. Walaupun dia masih nggak jelas, tapi gue pasti bisa ngeyakinin dia. "Besok aku harus jemput tante aku di bandara."

Meski setengah mati kecewa, tapi Rena tetap mengembangkan senyumnya.

Ayo, Bian. Bagus. Ayo bohong terus. 

Sekarang, pikiran Bian malah terbang ke mana-mana. Apa yang dikatakan Rena hanya dibalas dengan anggukan atau senyuman kecil tanpa Bian dengarkan dengan sungguh-sungguh. Sampai ketika makanan disajikan dan mereka berdua selesai makan pun, pikiran Bian masih tetap tidak di sini.

Aneh, mengapa ia harus berbohong di depan Rena, hanya karena Myta?

Tunggu, jawabannya pasti karena Bian tidak ingin Rena mengetahui tentang rencana kejutan ulang tahunnya untuk Rena, kan?

Namun kalau benar begitu, kenapa Bian malah merasa kecewa karena tidak jadi bertemu dengan Myta dan bukannya kecewa karena tidak jadi berdiskusi tentang ulang tahun Rena?

----------

P.s. restorannya fiksi maapin:( hehehe.

Her Surprise Birthday PartyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang