6. Awkward Meet

95 12 4
                                    

Senin, 21 Desember 2016
07.00

Ada banyak cara yang bisa digunakan untuk mendeskripsikan hari Senin. Mulai dari lewat umpatan benci, sampai dengusan kecewa. Hal-hal yang bukannya membuat Senin jadi lebih baik, tapi malah membuang-buang tenaga yang seharusnya di simpan untuk aktivitas Senin yang padat.

Satu dari sekian banyak orang yang menyumpahi pagi ini adalah Bian. Berkali-kali kalimat sialan keluar dari mulutnya, padahal jarum panjang pada jam baru saja melewati angka tujuh.

Jadi kejadian sederhananya begini; Bian kesiangan ditambah mobilnya tidak mau menyala. Padahal, jam setengah tujuh nanti, Bian harus presentasi untuk menambah nilai salah satu mata kuliah yang bila telat, berarti nilai akhir Bian tidak akan berubah. Padahal Bian yakin nilainya pasti buruk di mata kuliah satu itu. Setelah menelpon bengkel, Bian memutuskan untuk pergi ke stasiun terdekat dan naik KRL.

Sial lagi, iya benar, KRL-nya penuh sesak.

Hal itulah yang membuat kemeja flanel navy yang dikenakan Bian di luar kaos polos putihnya terlihat sedikit kusut, juga rambut Bian yang memang dasarnya selalu diatur berantakan, sekarang terlihat semakin berantakan lagi. Betapa senangnya Bian saat akhirnya tiba di stasiun tujuannya.

Sudah sepuluh menit berlalu sejak Bian menghirup udara segar setelah keluar KRL. Sudah berkali-kali juga Bian melirik gelisah ke arah jam tangannya, lalu kembali melihat jalanan di depannya. Menunggu Bis Kuning lewat di depan Stasiun Universitas Indonesia.

Apakah ada yang lebih buruk lagi dibanding kejadian pagi ini? Atau, semesta punya rencana lain? Ah, Bian sudah tidak mau ambil pusing lagi. Bis Kuningnya sudah tiba.

Tak Bian sangka, setelah berhasil senggol kanan senggol kiri dengan penumpang lainnya, akhirnya Bian berhasil mendapatkan tempat duduk. Masa bodo dengan penumpang perempuan yang kedapatan berdiri. Bian ingin istirahat sebentar. Sungguh, rasanya ia benar-benar lelah.

Ketika Bian baru ingin menyandarkan punggungnya pada kursi, sesorang perempuan dengan flanel dominan pink dikuncir kuda yang kelihatan kesusahan membawa banyak diktat tebal di depannya, menarik perhatian Bian. Sebelum bis benar-benar melaju, akhirnya Bian berdiri, mencabut semua pernyataannya di paragraf atas, dan mempersilakan perempuan tadi untuk duduk di tempatnya.

Siapa yang menyangka, kesialan Bian sepagian ini akhirnya selesai.

Perempuan itu menoleh ke arah Bian sesaat setelah Bian menepuk pundaknya, dan saat itu juga, keduanya langsung saling tatap, seakan-akan terhipnotis pada siapa yang dilihat oleh mata kepala masing-masing. Yah, keduanya menatap satu sama lain dengan mulut terbuka sedikit, seperti ingin bicara sesuatu, tapi semuanya seakan-akan tertahan begitu saja.

Setelah bangkit dari keterkejutannya, perempuan itu akhirnya duduk, lalu tersenyum. Ah, senyum itu sama persis seperti yang kemarin. Masih terlihat manis dan begitu tulus. Masih senyum yang hanya bisa pas bila dilengkungkan di wajah manis Myta.

"Oke," Myta menahan senyumnya mati-matian, yang malah terlihat menggemaskan di mata Bian. "Thank you and hello again, I guess?"

Bian tersenyum lebar, "kok lo nggak cerita lo kuliah di sini juga?"

"Lo juga nggak cerita."

Bian benar-benar tidak mengerti caranya berhenti tersenyum. Seolah-olah rasa lelahnya sepagian ini hilang hanya karena bertemu Myta. "Fakultas apa?"

"FIB," jawab Myta. "Lo?"

"Teknik." Myta mengangguk. "Bukannya FIB deket ya dari stasiun? Dan ini bukannya udah kelewat?"

"Wah, kebetulan banget." Ah, baru sehari rasanya, tapi kenapa Bian begitu rindu melihat mata Myta yang bersinar-sinar cerah? "Dosen gue ada urusan apa gitu di FT, jadi dia minta ngumpulin tugas ke situ."

Sial, kalau saja Bian tidak ada kelas pagi hari ini, pasti Bian bisa mengajak Myta makan di kantin atau ke perpustakaan atau ke mana pun asal berdua dan memberi Bian kesempatan mengobrol lebih lama lagi dengan Myta.

Kelas pagi! Refleks, Bian mengeluarkan handphone-nya, instingnya mengatakan kalau ia harus tahu dulu apakah dosennya sudah ada atau belum di kelas. Jadi, Bian membuka grup kelasnya. Matanya menyipit saat membaca satu kalimat chat yang dikirim Dito.

Woy, Bapaknya telepon gue tadi, katanya doi nggak masuk hari ini, anaknya lahiran. Presentasinya diganti jadi bikin artikel, dikirim ke email doi malem ini.

Semesta memang begitu baik pada Bian hari ini. Yang sudah lewat tentang kesialannya pagi tadi biarlah lewat begitu saja, sebab di depannya, Myta terlihat lebih menarik untuk dipikirkan daripada mengingat paginya yang buruk.

"Lo ada kelas jam berapa hari ini?"

Myta mendongak menatap Bian. "Hari ini libur, cuma ngumpulin tugas aja. Paling abis itu gue ke perpus. Lo?"

"Hari ini jalan sama gue ya, Myt?"

"Hah?"

"Gue anterin ke FT, terus abis ini ke perpus bareng." Sorot mata Bian yang ramah sekarang tampak sungguh-sungguh, membuat pikiran dan hati Myta berperang menjawab ajakan Bian. "Please?"

Pada dasarnya, semua perempuan memang sama; sekeras apa pun sikapnya, setegas apa pun pikirannya, jika hati sudah ikut andil di dalamnya, maka sudah bisa dipastikan siapa pemenangnya.

Jadi dengan bibir yang ditarik, Myta mengangguk.

Sekali lagi, semuanya diatur oleh semesta. Ketika Bian menganggap semesta begitu baik padanya hari ini, apa yang sebenarnya Bian ingin? Apa yang sebenarnya hatinya ingin?

Bukan, Bian bukannya ingin berbuat sesuatu yang curang di belakang Rena. Hanya saja, rasanya begitu menyenangkan merasakan ritme jantungnya saat berada di dekat Myta.

Dan, oke, Bian paham betul batasannya pada Myta. Bian berusaha memahaminya. Bahwa hubungan keduanya, tidak akan lebih dari sekadar teman, yang berjuang untuk satu tujuan; kejuatan ulang tahun Rena.

Kalau sudah begini, masihkan Bian menganggap semesta baik padanya?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 12, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Her Surprise Birthday PartyWhere stories live. Discover now