Luke

2.1K 385 212
                                    

Luke

Aku ingat warna matanya yang selalu bersinar itu. Aku suka rambut cokelatnya yang bergoyang ketika ia berjalan. Aku seakan tersihir ketika melihat alisnya yang rapi bagaikan ukiran seniman. Ia suka cokelat panas dan selalu tersenyum ketika isi dari cangkirnya itu habis. Aku ingat percakapan terakhirku dengannya. Aku ingat di hari di mana aku kembali melihatnya setelah berbulan-bulan menunggu kabarnya walau harus ada lelaki lain di belakangnya.

Aku ingat ketika logikaku memohon untuk berhenti memperjuangkannya, namun hatiku bersikeras untuk tetap berusaha karena aku sudah berlari sejauh ini. Aku ingat betapa lelahnya aku terseret selama perjalanan menunggunya datang hingga aku tak mampu lagi bergerak.

Aku ingat saat lelaki itu merengkuh wajahnya dan mencium Alana dengan begitu lembut. Masih terekam jelas di otak bebalku ini bagaimana gelak tawanya menggema di seluruh sudut cafe yang kosong pengunjung.

Aku ingat semuanya.

Dan selama perjalanan seratus lima puluh hari ini, aku tersadar akan sesuatu.

Ketika nanti tiba waktunya entah itu dengannya atau bukan, aku akan berhenti untuk menjadi seseorang yang pengecut. Aku akan berusaha untuk memperjuangkan sesuatu bukan hanya dengan menanti, tapi juga aksi yang realistis. Aku akan melompat begitu ada celah, bukannya terseok di tengah jalan yang lebar. Aku akan melewati lubang, bukannya merangkak di jalan yang halus.

Kamu sampai kapanpun akan selalu menjadi kafeinku. Walaupun kamu terlalu manis, tapi setidaknya bisa kuimbangkan dengan teh panas tanpa gulaku yang mungkin membutuhkan penyeimbang.

Selamanya, aku akan tetap suka pahit dan kamu dengan manismu. Tapi dengan pertemuan kita yang terakhir kalinya, kamu benar-benar membuatku begitu benci dengan pahit.

Kamu datang dan memporak-porandakan hatiku yang sudah baik-baik saja. Di saat aku sedang belajar untuk mengikhlaskan, kamu masuk melalui celah dan merobeknya hingga tak tersisa.

Aku baru tahu kalau cinta bisa semenyakitkan ini. Kehilangan ternyata separah ini. Patah hati rupanya seburuk ini.

Aku benci pahit hari ini, tapi aku tidak butuh manis darimu yang mungkin kapan saja bisa berubah menjadi pahit dan perlahan membuhuhku.

Aku tidak memesan teh panas tanpa gula hari ini. Aku hanya duduk dengan secarik kartu di tanganku, memandanginya lekat-lekat dan masih tidak percaya sampai saat ini.

Semudah itu kamu meninggalkan aku yang mati-matian memperjuangkan kita?

Ketika orang-orang tengah berbahagia di hadapan sang pengantin, aku hanya terdiam dan menahan perih. Sebisa mungkin aku tersenyum dan menunjukkan pada siapapun bahwa aku ikut bahagia. Nyatanya, aku ingin berteriak dan meninju wajah lelaki yang kini sudah resmi menjadi suaminya.

Itu adalah titik di mana aku benar-benar merasa kalau segalanya menjadi begitu sia-sia; melelahkan.

Ketika kamu merasa bosan dengan kehidupan yang sedang kamu jalani, sudah pasti ada yang salah. Mungkin kamu tidak tahu apa yang berbeda atau apa yang membuat dirimu menjadi mudah lelah dalam menghadapi sesuatu. Satu-satunya hal yang dapat aku lakukan adalah berdiri dalam diam dan berusaha untuk lari dari masa lalu.

Tapi aku selalu terjebak di dalamnya. Selalu.

---

Empat tahun berlalu dan kini sudah waktunya aku kembali kerumahku yang sebenarnya. Aku akan kembali kepada hangat yang kurindu selama bertahun-tahun.

Dengan sengaja, kuberhentikan mobilku di depan cafe yang menjadi teman sekaligus saksi bisu kehidupanku di kota ini. Tuan Brown kelihatan kepayahan menangani segerombolan anak sekolah menengah yang tengah memesan minuman. Lia dan Libra tampak semakin akrab dan ikut membantu tuan Brown menangani anak-anak nakal itu dengan raut wajah jengkel sekaligus senang dalam waktu yang bersamaan.

Aku terkekeh. Begitu berat sebenarnya meninggalkan mereka semua. Aku benci membuat kenangan. Seperti ini jadinya. Akan sulit untuk melepaskannya, tetapi tetap harus kulakukan.

"Kamu bisa kembali lagi kesini kapan saja, Luke." Ashton menepuk bahuku dari samping. Dia menemaniku hingga kebandara. Sengaja kami tidak memberitahu Lia dan Libra yang mungkin bisa membunuhku untuk mencegah agar aku tidak meninggalkan mereka. Untung semalam aku sudah sempat berpamitan dengan tuan Brown yang kuanggap sebagai ayahku sendiri.

"Ya, Ash. Hanya saja aku tetap merasa sedih harus meninggalkan kalian semua."

Ashton kembali menepuk pundakku dan tak kuasa untuk tidak memelukku. Ia berkata, "Berjanjilah untuk kembali."

Aku menangguk. "Pasti."

Walau dengan hati yang luka, kenangan pahit dan sakit yang tak terobati, aku pasti kembali.

Dengan alasan berbeda, dengan cerita yang berbeda.

Sepertinya once upon a timeku tidak berjalan dengan baik. Bumbu-bumbu dongeng Cinderella dan mantra ajaib sang peri tidak bisa mengubah apa-apa. Aku berjuang sendirian dalam mempertahakan perasaanku.

Kulambaikan tanganku pada Ashton dan menitipkan salam untuk orang-orang yang kukenal juga beberapa janji yang pastinya akan kutepati karena aku bukanlah Luke Hemmings yang pengecut seperti tiga tahun yang lalu.

Selamat tinggal, Alana.

Semoga Calum Hood, lelaki yang kini menjadi suamimu bisa mengajarkan bagaimana cara melewati pahit. Kalian berdua suka manis, bukan? Sesekali kalian harus mencoba pahit untuk tahu bagaimana cara menghargai manis.

Semoga bahagia selalu.

***

AlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang