Alana

1.8K 368 68
                                    

Alana

Sejak kepergiannya yang tiba-tiba, aku menjadi merasa begitu bersalah. Pergi begitu saja dari cafe sesaat setelah mengajaknya berbicara dan tak pernah kembali adalah keputusan yang teramat salah. Dua bulan setelah itu, aku baru berani menampakkan diri dan bertemu dengannya.

Ternyata namanya Luke. Aku tahu dari Libra. Selama beberapa hari, aku mengira kalau Libra adalah pacarnya dan itu adalah hipotesa terburuk sekaligus terbodoh dalam hidupku.

Selama Luke menungguku, aku dekat dengan Calum. Ia lelaki yang baik, namun tetap saja ada yang mengganjal ketika aku sedang bersamanya.

Aku tidak sengaja tertawa begitu kencang di cafe saat ada Luke di sana, aku takut ia terluka. Tapi yang kulakukan malah hal sebaliknya. Aku tidak tahu kalau Calum akan menciumku, jadi kubiarkan ketika ia mendekatkan wajahnya. Kupikir itu hanyalah lelucon konyol miliknya yang nantinya akan mengatakan kalau ada jerawat yang tumbuh di ujung hidungku, nyatanya ia benar-benar menciumku.

Dan aku tahu Luke melihat semuanya.

Waktu berlalu dan ayah menyuruhku untuk segera menikah. Aku tidak bisa menolak ketika Calum melamarku di hadapan ayah dan ibu. Mereka terlihat bahagia. Dengan sedikit keraguan, aku menjawab 'ya' dan rencana pernikahan dibuat satu minggu kemudian.

Di hari penantiannya yang entah keberapa, aku melihatnya tengah duduk sendirian di bangku favoritnya—menghadap langsung kejendela. Itu adalah tempat pertama kali kami bertemu. Tempat yang mempertemukan aku dengannya. Laptopnya dibiarkan terbuka tanpa disentuh sama sekali. Matanya kosong, benar-benar tidak peduli dengan kehidupan nyata.

Aku menepuk bahunya pelan. "Hey?"

"Oh." Luke mengusap matanya. "Oh, hey." Ia tersenyum.

Andai segalanya belum terlambat.

"Aku... aku ingin memberitahu sesuatu."

Wajahnya berubah sumringah.

"Apa?"

Sebenarnya aku enggan untuk memberikan undangan ini untuknya. Itu pasti akan membuatnya sakit dan berhenti untuk memperjuangkan aku.

"Datanglah." Kataku lebih seperti bisikan.

Ia menerimanya dari tanganku dan membacanya sejenak. Diletakkannya kartu itu dan menatapku dengan begitu intens seakan aku akan menghilang begitu ia berkedip.

"Kenapa?"

Rasa sesak tiba-tiba memenuhi dadaku. Air mata tiba-tiba saja mengalir tanpa kuperintahkan. Kedua tanganku kubekapkan pada mulut agar raunganku dapat tertahankan.

Dengan sigap, Luke memeluk tubuhku dan aku terisak di sana. Untuk pertama kalinya aku merasakan hangat yang selama ini hilang dari diriku. Hangatnya sama; seperti cokelat panas—seperti rumah.

"M-maaf." Ucapku masih dalam dekapannya.

Ia mengelus puncak kepalaku dan berusaha menenangkanku. "Ssst. Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja."

Selalu ada 'apa-apa' di balik 'aku baik-baik saja'. Aku merasa begitu berdosa dan ingin mengenyahkan diri sendiri begitu tahu kalau aku baru saja menghancurkan hati seseorang yang tulus menyayangiku.

Mengapa aku bisa sebegitu jahatnya? Mengapa aku tidak bisa merasakan beda ketika Luke menatapku? Mengapa aku baru menyadarinya sekarang?

Dan hari pernikahan itu tiba. Aku kira ia tidak akan datang. Ia benar-benar lelaki yang kuat karena masih bisa tersenyum di hadapanku yang sedang bersanding dengan Calum dalam balutan baju putih nan indah. Semua orang terlihat bahagia.

Ada luka yang tersimpan di balik mata indah Luke dan luka itu adalah aku.

---

Kumantapkan hati untuk meminta maaf hari ini. Kuketuk pintu rumahnya beberapa kali namun tidak ada jawaban.

Deru mobil yang bising memenuhi gendang telingaku dan berhenti beberapa saat kemudian. Ashton yang kutahu adalah sahabat Luke di sini kemudian menghampiriku dengan panik.

"Kenapa kamu memakai mobil Luke?"

Ashton melihat kearah mobil, lalu kearahku lagi. "A-aku baru saja mengantarkannya kebandara. Hari ini ia akan pulang ke Australia."

Ashton mengundangku masuk kedalam rumahnya dan menceritakan segala yang ia tahu tentang Luke, perjuangan seratus lima puluh harinya untukku.

Aku malu jika harus terus berada di dekat Ashton. Aku dapat merasakan amarahnya ketika ia menceritakan segalanya padaku. Secara harfiah, ia sama sekali tidak menyakitiku. Tapi cara penyampaiannya yang menggebu-gebu dan sedikit memojokkanku membuat nyaliku ciut setiap menitnya.

Aku pamit dan meminta maaf pada Ashton atas ketidakpekaanku terhadap perasaan Luke. Secepat mungkin aku berlari kedalam mobil sebelum cairan panas di pelupuk mataku turun dan makin mempermalukan diriku di depan Ashton.

Dongeng hanyalah dongeng. Tidak selalu kisah cinta berakhir manis seperti kisah Cinderella dan pangerannya. Kalaupun ada ibu peri di kehidupan nyata ini, rasanya ia tak akan mampu membantuku untuk mengobati hati Luke yang sudah terlanjur hancur karena aku.

Sampai jumpa lagi, Luke.

Aku harap kamu mulai mencoba bagaimana rasanya manis untuk menyeimbangi pahitmu. Hidup ini tidak melulu tentang kepahitan dan ketidakadilan, bukan juga sakit dan dendam. Selalu ada manis yang terselip tanpa kamu sadari, Luke. Kamu harus mencarinya. Manis tidak menghampirimu begitu saja.

Walaupun aku tidak meminum kafein, tapi kamu akan selalu menjadi canduku.

Semoga bahagia selalu.

***

Ya ampun basi banget ya gue baru apdet ;_;

selamat berpuasa ya hahahah telat lagi :')

abis ini epilog ya

eh cek works gue ya judulnya 'susuku'!!!!!

muah


ivone

AlanaWhere stories live. Discover now