The First Blue Roses: One Week

2.3K 388 250
                                    

"Sa-satu minggu?" Ibu tercekat. Penjelasan dokter kali ini sangat tidak masuk akal. "saya sudah membeli semua obat yang Anda rekomendasikan dan ini hasilnya?"

Dokter itu tampak berbesar hati-mungkin sudah biasa dengan perlakuan kerabat pasien yang 'menyalahkan' dirinya atas ketidakberhasilan pengobatan yang diupayakannya. "Obat-obat itu hanya memperlambat waktu kematiannya. Saya sudah memberitahu itu jauh-jauh hari."

Ibu menutupi wajah dengan kedua tangannya lalu mulai menangis. Tidak peduli dengan ayah, dokter, dan Molly yang tengah memperhatikannya dalam kebisuan.

Sang dokter memandang Molly dengan senyum samar. Molly mengangguk dan bergumam, "Gak apa-apa, dokter."

Ayah memeluk tubuh ibu dari samping. Reaksi yang sudah Molly duga sebelumnya benar; tangis ibunya makin menjadi-jadi.

"Ma," Molly mengelus lengan ibunya dengan lembut. "Molly gak apa-apa, kok."

Tentu saja, ketegaran yang Molly utarakan malah membuat sang ibu makin terpuruk. Membayangkan anak bungsunya itu akan meninggal dalam tempo seminggu menjadikan dirinya sebagai ibu terdepresi saat ini.

"Dokter, kan, udah usahain semuanya untuk Molly. Kalo emang waktu Molly tinggal satu minggu lagi, ya gak apa-apa." Ia menelan ludahnya ketika mengatakan hal tersebut. "mama jangan nyalahin dokter lagi, ya?"

Ibu menatap Molly, ayah, dan dokter secara bergantian. Tangisnya pecah, lagi. Kali ini, pilu yang terdengar lebih kepada rasa ikhlas yang tersirat di setiap tetes air matanya. Ia sadar, hidup atau matinya Molly bukan dokter yang menentukan. Mungkin memang begini takdirnya. Inilah yang harus Molly hadapi.

---

Mike duduk di undakan tangga yang ada di teras rumah Molly dengan sebuket bunga mawar biru di tangannya. Gadis itu sedang ada di rumah sakit, ia tahu itu. Datang lebih awal adalah kebiasaannya.

Kejutan. Molly suka kejutan.

Deru mobil mengenyahkan lamunannya. Dengan sigap, ia segera bangkit dan merapikan pakaiannya yang sedikit kusut.

Ibu keluar lebih dulu dengan mata yang luar biasa sembab. Mike mengurungkan niatnya untuk menyapa wanita paruh baya itu dan hanya melempar seulas senyum yang bahkan tidak dilirik sama sekali.

Ayah menyusul dengan lengan yang melingkar di bahu anaknya. Begitu mengetahui kehadiran Mike, Molly dengan gesit merunduk agar lepas dari pelukan ayahnya dan segera berlari kearah lelaki muda itu.

"Kenapa kamu lebih milih Mike ketimbang ayah, sih." Ucap sang ayah sambil pura-pura bersedih.

"Karena dia gak rese kayak ayah." Molly menjulurkan lidahnya. "Ayah duluan aja. Pasti Ibu lagi butuh ayah."

Ayah mengecup singkat kening Molly, menepuk bahu Mike tiga kali lalu berlalu dari hadapan keduanya.

"So, hi?" Molly melambai kecil sambil cengengesan.

Ada luka yang mengendap dibalik senyum manis itu.

Mike menyerahkan benda cantik yang ada di tangannya tanpa basa-basi. "Buat elo."

Gadis itu menerimanya dengan senyuman yang merekah. "Makasih! Kok bisa biru gini?" tanyanya sambil memperhatikan mawar birunya dengan seksama.

"Gue warnain sendiri. Pake pewarna makanan lagi." Mike memasang cengirannya. "Abisnya udah muter-muter tapi gak ada yang sesuai. Yaudah, gue beli mawar putih dan warnain sendiri."

Molly menyentil kening lelaki yang ada di hadapannya. "Genius."

"Sarkas?" alis Mike bertautan.

"Tulus."

Lelah berdiri, keduanya lalu memilih untuk duduk di anak tangga yang tadi Mike gunakan. Setelah melewati keheningan yang cukup lama, akhirnya Molly mengeluarkan suara.

"Waktunya udah dateng." Gadis itu menatap langit. "satu minggu lagi."

Yang diajak bicara menolak untuk menjawab, menoleh atau sekadar lirikan kilat. Semua yang ingin ia lakukan rasanya berat dan menyakitkan.

"One week and its start from today." Kata Molly lagi.

Mike berubah menjadi lelaki paling pengecut di dunia. Rasa takut mengurungnya-mengendalikannya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Artinya, nyawa gue tinggal enam hari lagi, Mike. Gak kerasa, ya. Hidup ini ternyata sebegitu singkatnya." Molly mengulum senyumannya. "lo kenapa diem aja, sih? Laper, ya?"

Sedetik kemudian, Mike sudah membawa Molly kedalam pelukannya. Begitu cepat hingga bunga mawar biru itu tanpa sengaja harus terhimpit dan rusak. Tapi, bukan itu yang sedang dipermasalahkan.

"Dia bukan Tuhan. Dokter itu gak tau berapa lama lagi lo bakalan hidup." Mike berbisik lirih. "lo harus percaya kalau umur lo bisa lebih dari prediksi tololnya itu."

Molly mendorong tubuh lelaki itu kebelakang. "IH, MICHAEL BEGO! BUNGA DARI LO JADI RUSAK, NIH!" ia membawa mawar biru itu kedalam dekapannya. "parah! Dasar cowok gak berperikebungaan."

Mike meringis. "Sori. By the way, berperikebungaan?"

"Gini aja. Sebagai gantinyaaa," Molly memasang senyuman pedofil. "lo harus kasih bunga mawar biru ke gue selama enam hari kedepan."

"Hah? Gak mau."

Molly mengguncang-guncang tubuh Mike dari samping. "Michaeeeel."

Mike kemudian mengapit kepala Molly di antara ketiaknya dengan gemas. "Ada-ada aja, sih, permintaannya."

Gadis itu menjauhkan kepalanya dari tubuh Mike. Sambil merapikan rambutnya, ia berkata. "Kalo orang mau mati, kan, emang gitu. Suka ada wasiatnya."

Tenaganya surut. Senyuman Mike pun luntur seketika. Ia baru ingat. Enam hari adalah 'sisa waktu' Molly di dunia ini.

"Pertama, kan gue udah bilang nyawa lo gak tergantung sama dokter sok tau itu. Kedua, kenapa lo harus ngerepotin gue dengan minta bunga mawar biru yang amat teramat susah dicari itu?" kata Mike panjang lebar yang sukses membuat Molly tertawa.

"Apaan, sih, Mike. Lo jadi aneh sekarang. Biasanya kalo gue minta apa-apa, lo gak banyak nanya. Main kasih aja gitu. Kok sekarang diinterogasi dulu?" Molly menjawil dagu sahabatnya. "ayo, kenapa?"

Lelaki berambut pirang itu menepis tangan Molly jauh-jauh. "Ganjen lo megang-megang orang ganteng."

Molly pura-pura muntah. "Geli."

"Oh, lo mau gue bikin geli? Sini gue kelitikin!"

Sesaat kemudian, sore itu dihiasi tawa lepas dari keduanya. Tanpa beban.

Rona langit menjingga sebagai pengingat bahwa fajar akan segera menyingsing. Saat ini mereka lupa bahwa kematian sedang menunggu Molly. Mungkin prediksi dokter itu benar, atau bisa juga meleset menjadi...

lebih cepat?

***

kalo fangirl dikasih wifi ya gini

iya gue nyolong wifi kantor gila gue bawa flashdisk yang isinya folder fanfic gue terus gue colok ke komputer kantor kan ya, yaudah gue post-post in HAHAHA YA TUHAN HINA BANGET GUE.

ini gak sampe bikin nangis kok gak jago gue.

gue bisanya bikin calum bahagia

udah ya muah

tetep baca!


ivonne, calcutepie.

Blue RosesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang