The Sixth Blue Roses: I'm Gonna Die

1.6K 259 178
                                    

"Mike, besok gue mati, ya?"

Lelaki yang tengah merangkai beberapa tangkai mawar biru itu lalu mendongak dengan sebal. "Ngomong apa, sih?"

"Kan ini udah hari keenam. Waktu gue seminggu dan itu artinya, besok bakalan jadi hari terakhir gue di dunia ini." Molly mengeratkan bantal yang ada di pelukannya. "Lo sedih, dong, Mike. Temen mau mati juga."

Mike menyingkirkan kumpulan bunga-bunga itu ke sisi kananya dan menatap Molly dengan lelah. "Molly, semuanya bakalan baik-baik aja. Kalo emang besok lo kenapa-napa, harusnya seminggu ini lo udah dipasung sama kabel-kabel yang ada di ICU, bukannya sepedaan sama gue dari kemarin. Udah, deh, jangan ngaco ngomongnya. Gue juga takut, Molly."

"Gue gak suka sama cara ngomong lo yang sekarang." Molly menopang dagunya, menatap intens ke arah manik hijau milik Mike.

"Emang gue kenapa?" Mike mengedik. "Nada gue kayak orang marah, ya? Ya iyalah marah. Bayangin, ya, Moll. Sahabat yang paling lo sayang lagi sakit, terus orang itu selalu bilang, 'besok gue mati. Gue gak kuat.' dan lain-lain. Lo ikut kepikiran gak? Gue tau, sih, kalo..."

Selagi Mike terus mencurahkan isi hatinya secara tidak langsung, Molly diam-diam tersenyum. Ia takut jika sunggingan di pipinya akan membuat air mata yang ia bendung sejak tadi tumpah. Ia tahu kalau dokter memang bukan Tuhan yang tahu kapan ia akan mati, tapi mereka memprediksi berdasarkan fakta, kan? Kalau memang selama beberapa hari belakangan ini Molly terlihat baik-baik saja untuk ukuran manusia yang divonis akan meninggal besok, gadis itu sebenarnya menimbun sakit.

Memang kenapa akhir-akhir ini Molly agak lamban menjawab ketika seseorang mengajaknya berbicara? Molly tengah menahan sakitnya. Mengapa Molly lebih memilih untuk tidur daripada keluar rumah? Ia memilih untuk melupakan penyakitnya dengan berbaur ke alam mimpi. Karena mimpi adalah satu-satunya alam yang mampu memberikannya kebahagiaan, mimpi yang melepaskannya dari jeratan rasa sakit walaupun terkadang nyeri datang dan merenggut suka citanya di tengah perjalanan panjang imajinasinya.

Mike mendecak sebal. "Tuh, kan. Lo bengong terus. Mikirin apa, sih? Gue emang udah ganteng dari lahir, Moll."

Karena Molly tengah memikirkan kematiannya.

Siapa yang bakalan datang ke pemakaman gue? Orang-orang yang memang sayang sama gue atau formalitas semata?

Apa nanti bakalan ada yang nangisin gue selain mama, ayah dan Luke? Adakah orang yang menyayangi gue melebihi rasa sakit yang merenggut kebahagiaan gue selama ini?

"Mike, tolong ambilin buku yang ada di sana, deh." Molly menunjuk meja belajarnya. "Sama pulpen sekalian."

Mike bangkit dan kembali dengan dua benda itu di tangannya. "Ini, nyonya. Buat apa, deh?"

Gadis itu merebut buku dan pulpen dari tangan Mike dan menyudut ke ujung tempat tidurnya. Sedetik kemudian, ia sudah larut dalam dunianya sendiri. Entah apa yang sedang Molly tulis, tapi Mike lega karena setidaknya gadis itu tidak larut dalam kesedihan.

Itu menurut Mike.

"Nih," Molly membuka buku itu di tengah-tengah tempat tidurnya. Ia memberikan kode kepada Mike untuk mendekat. "Tanda tangan di sini," tunjuknya pada sudut kanan bawah.

Mike mengangkat buku itu dan membacanya dengan seksama.

Peraturan Pemakaman Molly


1. Hanya dihadiri oleh orang yang benar-benar sayang sama Molly

2. Wajib membawa bunga mawar biru

3. Enggak ada yang boleh pakai baju warna hitam

4. Enggak ada yang boleh nangis

5. Enggak ada yang boleh sedih lama-lama

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Blue RosesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang