CHAPTER 3 : YOU ARE MINE

993 146 24
                                    

KETIKA Evan tiba di kamarnya. Ia terus memikirkan Dea. Melamunkan kata demi kata yang baru saja Dea katakan. Wajahnya menjadi sendu. Ia berpikir bahwa harapannya untuk menjadikan Dea sebagai kekasihnya pupus sudah.

Sesekali ia memandangi foto-foto kedekatan dirinya dengan Dea. Terkadang ia tersenyum setiap melihat foto Dea yang sedang terjatuh ketika main hujan waktu kecil. Dan disisi lain, ia sedih bahwa kenyataan hidupnya adalah, mereka sebatas sahabat.

Keesokan paginya. Seperti pagi-pagi sebelumnya. Sudah menjadi hal yang lumrah bagu Evan menginjak di depan gerbang SMA Jaya Bangsa. Tempat di mana ia selalu rela menyita waktu hanya demi menunggu dan mengantar gadis yang menyinggahi tempat itu.

"Nanti aku telepon ya."

"Iya," singkat Evan kemudian bergegas membelah jalan.

Dea pun masuk ke kelasnya. Dea dan teman-teman lainnya yang berada di kelas tersebut mulai berjuang kembali. Berjuang menyelesaikan ujian saat itu.

2 jam berlalu. Dea selesai mengerjakan ujiannya. Dea dan dua temannya, Rere dan Stefa. Seperti murid kebanyakan, mereka menyinggahi kantin untuk beberapa waktu. Rere dan Stefa benar-benar penasaran tentang dirinya dengan Dimas kemarin.

"De, gimana kemarin sama Dimas?" Stefa mulai membuka percakapan dengan bola mata yang berisi banyak rasa penasaran.

"Iya-iya gimana? Kamu ngapain aja sama dia? Jalan? Kemana? ke Mall? Nonton? Belanja?" Rere mengeluarkan keahliannya untuk mengintograsi seseorang layaknya seorang anggota FBI.

"Kalian apaan sih. Orang cuma makan doang. Nggak lebih," Dea mulai menjawab dengan ringkas.

"Cie makan. Berarti ini pertama kalinya kamu nge-date ya, De." Rere mengejek Dea.

"Apaan sih kalian." Dea menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal

Tiba-tiba, ponsel Dea bergetar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke dalam pesan masuknya. Dea kebelingsatan. Ia membuka pesan tersebut.

From : +62895279588

"Hai, De. Ini aku, Dimas. Pulang sekolah, aku tunggu di parkiran, ya. See you."

Setelah Dea membaca pesan tersebut, pupilnya melebar menatap tajam dua orang di hadapannya, Stefa dan Rere.

"Siapa yang ngasih nomor aku ke Dimas?" Dea bertanya dengan geram pada kedua sahabatnya.

Rere dan Stefa terdiam. Tak menghiraukan apa yang baru saja Dea katakan. Mengacuhkan suara Dea yang terdengar mengintimidasi kedua perempuan di hadapannya. Dea kemudian mengulang pertanyaannya dengan lebih singkat tentang pelaku yang melakukan pemberian nomor ponselnya pada seorang laki-laki itu. Dengan reflek, Stefa dan Rere saling menunjuk satu sama lain.

"Rere!" Stefa menunjuk ke arah Rere.

"Stefa!" Begitu juga dengan Rere, ia menunjuk ke arah Stefa.

"Jadi siapa yang ngasih nomor aku?" Dea kembali bertanya.

Rere dan Stefa terdiam sejenak. Kemudian Rere mengajukan pengakuannya.

"Iya aku yang kasih, De," Rere menundukan kepalanya sejenak.

Dea hanya menatap Rere malas. Sesekali ia menaiki satu alisnya.

"Maafin aku kalau aku lancang kasih nomor kamu ke orang lain. Terserah kalau kamu mau marah," Rere menampakan wajah menyesalnya. Sedikit terlihat pasrah.

Seolah wajah sebal Dea memudar. Menimbulkan sebuah garis lengkung di bibirnya. "Enggak kok, aku cuma bercanda." Dea terkekeh-kekeh.

"Ah kamu De, bikin aku panik aja," ujar Rere lega.

Dear London [COMPLETED]Where stories live. Discover now