CHAPTER 6 : CHANGED

711 115 7
                                    

KEESOKAN harinya. Dea pergi ke sekolah. Kini ia pergi bersekolah seorang diri. Entah mengapa tak meminta Evan untuk mengantarnya. Mungkin, memang masih merasa canggung setelah beberapa waktu mereka sempat bertengkar hebat hingga menimbulkan kebencian yang mendalam pada Evan.

Dea berjalan tak semenggah di koridor sekolah. Dari kejauhan, ada dua perempuan tersenyum lebar seraya melambaikan tangannya ke arah Dea. Dea berlari ringan ke arah Stefa dan Rere. Mereka berpelukan. Persahabatan memang tak pernah bisa dihentikan oleh apapun. Sekuat badai menerpang, karna hati seorang sahabat yang tulus akan mengalahkan hal itu.

"Tumben kamu ga bareng Kak Evan, De?" tanya Rere.

"Gakapapa, pengen sendiri aja," sahut Dea seraya tersenyum.

"Oh iya, kertas pengumumannya udah di tempel di mading?" tanya Dea.

Stefa menggelengkan kepalanya. Ia tak tahu perihal itu.

"Belum, De, kata Bu Rika sih jam 8-an," sahut Rere.

"Yaudah kalau gitu kita ke kantin dulu yuk, laper nih," tandas Dea sambil mengelus perutnya.

Mereka pun pergi ke kantin. Ketika mereka sedang asik memakan baksonya, beberapa siswa kelas 12 berlari menuju mading sekolah. Kemudian Dea dan kedua temannya menyusul ke arah mading. Ternyata kertas pengumuman kelulusan telah dipampang. Dea dan kedua temannya mencari namanya masing-masing.

Dan...

"Yeay! Aku lulus," pekik Dea semangat dengan diselingin senyuman.

"Aku juga lulus!" Disusul dengan Rere.

"Aku juga!" Stefa mengikuti pula.

Setelah waktunya pulang, ia berlari ke rumah Evan. Mencoba memberitahukan perihal kabar ini. Kabar kelulusannya pada ibun dan Evan.

"Van, bun!" Dea memanggil dengan sumringah.

"Apaan sih. Berisik banget," sengit Evan seraya mengusap-ngusap rambutnya dengan handuk.

"Ih apaan sih kamu, Van!" tandas Dea tak kalah sengit.

"Udah-udah ah." Ibun melerai perdebatan kecil antara Evan dan Dea. "Ada apa sih, De? Kayanya seneng banget," sambung ibun.

Dea memberi sebuah amplop putih ke ibun. Belum ada yang mengetahui isi amplop tersebut selain Dea. Perempuan paruh baya itu kemudian membuka amplop tersebut dan membaca sebuah surat yang tedapat di dalamnya. Lalu, sepasang pupil ibun melebar. Terperanjat dengan apa yang sedang ia baca.

"Kamu lulus, De?" tanya ibun seolah tak percaya.

Dea menganggukan kepalanya. Senyum dibibir gadis itu menjawab semua keraguan. Kemudian ibun memeluk Dea dengan perasaan bahagia. Evan berdiri. Menghampiri ibun dan Dea, lalu meraih selembaran kertas itu dan ekspresi yang sama juga ditunjukkan Evan.

"Lo lulus De?" tanya Evan yang mendapatkan anggukan untuk kesekian kalinya dari Dea. Kemudian, laki-laki itu menggendong hangat Dea.

Mereka tertawa bersama. Bahagia, terpukau, haru, perasaannya bercampur menjadi satu bulatan kepuasan. Jika mengukur rasa bahagia bisa dengan jarum, maka kebahagiaan mereka melampaui batas jarum sewajarnya.

"Gimana untuk ngerayain kelulusan Dea, nanti malam kita makan malam bareng. Ibun yang bakal masak deh." Ibun mengajukan tawaran.

"Boleh, bun," sahut Evan antusias.

Dea sumringah. Gadis itu bersorak kegirangan. Beberapa kali melompat-lompat tak beraturan. Tarian yang biasa ia lakukan saat hujan turun, ia lakukan saat itu juga. Evan, laki-laki itu spontan mengikuti gerakan lihai Dea.

Dear London [COMPLETED]Where stories live. Discover now