05. Beautiful Eyes

97.9K 10.1K 1.3K
                                    

Aku bangun dengan malas-malasan untuk mencari ponselku yang terselip di selimut. Nama Lay membuat kekesalanku menguap, lenyap begitu saja. Aku bersiap menjawab panggilannya dengan wajah berseri, tanpa peduli dengan raut wajah Bian yang mendadak masam.

Tiba-tiba pria itu merebut ponsel dari tanganku dan berkata tegas, "Jangan diangkat."

"Eh, kenapa?"

"Dia mucikarimu, ya?"

Pertanyaan sadis meluncur dari bibir tipis Bian dan itu sungguh membuatku ingin menjejalkan sesuatu ke dalam mulutnya agar dia diam. Licin sekali memang lidahnya. Sungguh tidak bertulang dan enteng sekali menghina orang!

Panggilan dari Lay benar-benar aku abaikan karena terlanjur sebal dengan pria di sampingku ini. Namun sebisa mungkin aku mengontrol diriku dan mencoba tersenyum padanya dengan senyuman termanisku.

Aku menangkupkan telapak tanganku di kedua pipinya. Kulitnya sangat lembut. Pasti dia rajin merawat kulitnya.

"Kau sangat tampan. Matamu, hidungmu, bibirmu. Semuanya indah...."

Kening Bian mengernyit melihat tingkahku yang mendadak romantis. Ia diam saja mendengar gombalanku yang sangat murahan. Tanpa melepas kedua tanganku dari pipinya, aku kembali melanjutkan apa yang ingin aku sampaikan, masih sambil tersenyum.

"Dari semuanya, aku paling tertarik dengan bibirmu yang manis... sangat manis... tapi... SANGAT BERBISA!" makiku pada akhirnya. "Lay sahabatku!"

Aku menutup kalimatku dengan wajah mengerikan dan segera melepaskan kedua tanganku dari pipinya. Rasanya aku akan menyikat lidahku semalaman karena memuji-mujinya.

"Heh! Aku kan hanya bertanya!"

Aku mendengus sebal.

"Ada ribuan kata di otakmu, kenapa kau harus memilih kata mucikari? Diksimu sangat buruk. Kau tidak perlu menyebut mucikari. Kau membuatku merasa begitu rendah dan murahan. Sungguh menjijikan," balasku jengkel dan langsung melangkah mendekati ranjang. Aku merebahkan diri tanpa peduli dengannya.

"Koreksi terus sepuasmu." Gerutuannya terdengar olehku.

"Memang kau salah," balasku sambil tidur memunggunginya.

Keheningan mendadak menguasai situasi antara aku dan Bian. Beberapa saat berlalu begitu saja, sampai akhirnya ia menyentuh lenganku dengan tiba-tiba, sangat lembut dan berhati-hati.

"Jangan tidur dulu," pintanya mendadak bersikap manis.

Suaranya mendadak melembut, dan itu membuatku bergidik. Demi apa pun, aku merinding! Tapi aku berlagak biasa saja di depannya. Lebih tepatnya, berlagak kesal karena aku memang masih jengkel padanya.

"Kenapa?" tanyaku setelah bangun dari pembaringan dengan kesal.

Ia diam sebentar dan terlihat ragu.

Tapi perlahan ia melanjutkan kalimatnya, "Aku ingin mengenalmu lebih dekat sebelum kita bertindak lebih jauh. Kalau boleh tahu, apa status hubunganmu dengan Lay?"

Aku mengerjap, memandang matanya yang lugu. Rupanya balasanku barusan membuatnya sedikit berpikir dan mawas diri. Baiklah, aku menghargai usahanya.

"Aku sudah menjawab tadi."

"Kau mencintainya?"

"Kalau aku mencintainya, tidak mungkin aku berada di sini denganmu."

Aku merebut kembali ponselku dari genggaman pria itu. Ada satu pesan suara baru yang belum aku dengarkan. Senyumku mekar mendengar suara Kyung yang mengucapkan selamat tidur untukku. Manis sekali. He is my definition of sibling goals. Kami bertengkar dan saling menyayangi di saat yang bersamaan.

ANOMALYWhere stories live. Discover now