07. I'm Yours

73.5K 10K 709
                                    

Pikiranku jadi kacau karena membayangkan apa yang akan terjadi. Aku menelan ludah. Lima menit sudah aku menonton televisi sambil tiduran. Sebenarnya bukan aku yang menonton televisi, tapi televisi-lah yang menontonku. Pikiranku sudah tidak fokus, ditambah lagi tubuhku yang mulai terasa agak aneh.

Sudut mataku menangkap sosok Bian yang tengah duduk di sofa sambil menatapku tajam. Aku berusaha menguasai diriku.

"Panas...." Aku mengeluh sambil menyingkap selimut, lalu mengurangi suhu air conditioner. Setelah itu, aku ke kamar mandi untuk membuang zat-zat tidak berguna dari kandung kemihku.

Panas. Aku tahu ini bukan karena cuaca. Apa kalian memikirkan apa yang aku pikirkan?

"Ah! Aku tidak tahan lagi!" Suara teriakan Bian merambat hingga terdengar dari tempatku, membuat tubuhku tiba-tiba bergidik.

Sejujurnya, aku merasa gelisah dan napasku mulai menderu. Tubuh ini meminta untuk diperlakukan lebih dan aku sangat membutuhkan sentuhan pria pemarah yang barusan berteriak tadi. Aku membasuh wajahku, lalu melihat diriku sendiri di cermin.

Sialan! Obat itu membuat libidoku naik drastis hanya dengan melihat dan menyentuh tubuhku sendiri! Padahal hanya tiga tetes. Aku jadi ngeri memikirkan bagaimana nasib Bian yang minum nyaris sebotol. Demi apa pun, rasanya aku ingin mencekik leherku sendiri. Ini kiamat! Aku benar-benar tidak akan selamat. Keinginan hanya satu saat ini: bisa melihat sinar matahari besok pagi.

Tanganku memutar gagang pintu dan kepalaku menyembul dari balik pintu untuk melihat apa yang sedang dilakukan pria itu.

"Astaga!!!" pekikku terkejut setengah mati.

Bian sudah berdiri di depan bathroom dengan wajah dingin.

Aku mendadak ciut. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Keluar," perintahnya dingin sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Padahal dia hanya duduk sejak tadi, tapi napasnya....

"Kau baik-baik saja?" tanyaku memastikan keadaannya.

Pertanyaan bodoh mengingat apa yang sudah aku lakukan tadi. Benar-benar hanya sekedar basa-basi busuk karena aku tidak tahu harus mengatakan apa.

"Aku overdosis obat perangsang dan kau masih sanggup bertanya apa aku baik-baik saja?" Bian balik bertanya dengan napas yang terdengar berat.

"Maafkan aku...," ucapku pelan.

Ia tidak berkata apa pun, hanya menelanjangiku melalui tatapan matanya yang terlihat haus belaian. Aku menunduk, tidak sanggup membalas tatapannya meski hanya sedetik. Berbeda jauh dengan aku yang biasanya, karena kali ini aku sangat paham akan ke mana ujung dari tatapan pria di hadapanku ini. Ujung yang selama ini aku hindari karena aku tidak ingin melakukannya.

"Memandangku saja bisa memuaskan hasratmu, ya?" tanyaku pelan, masih dengan kepala tertunduk. Aku masih bisa berkata hal seperti itu dengan santai walau tidak menatap matanya, padahal setengah mati aku menahan dadaku yang berdebar cepat. Dan...

Hei, Bian Lee! Aku membutuhkanmu sekarang! Aku menjerit frustasi dalam hati.

"Angkat kepalamu. Aku ingin mata indahmu itu melihatku menghabisimu."

Kepalaku terangkat, bukan karena perintahnya. Tapi karena aku terkejut dengan kata-kata yang ia lontarkan. Seratus persen aku paham dengan makna di balik kata 'menghabisi' itu.

"Hei—"

Usapan jari lentiknya di bibirku membuatku seketika gagu sekaligus membuat darahku berdesir. Bibir merahnya yang tipis langsung menyusuri kulit wajahku dengan sentuhan yang menghasilkan letupan chemistry sempurna. Rasanya ada ribuan kembang api yang meledak dalam dadaku, itu sangat membahagiakan.

ANOMALYDonde viven las historias. Descúbrelo ahora