11. New Soul

53.8K 7.9K 834
                                    

Aku diam saja. Bian mengalihkan tatapannya pada Lay.

"Tolong jangan temui dia dulu," ucap Bian tegas.

Aku menatap Lay, berdebar menunggu reaksinya. Aku harap ia tidak melakukan hal bodoh seperti menghajar Bian. Permasalahannya sudah aku jelaskan dan aku berharap banyak padanya.

Lay tersenyum hambar.

"Aku mengerti, Tuan Lee. Jihyun telah menceritakan semuanya," katanya lalu melempar pandangannya padaku dengan satu senyuman dipaksakan.

Telapak tangannya yang besar menangkup puncak kepalaku.

"Jaga dirimu. Aku pergi," pamitnya yang seketika membuat hatiku semakin mencelos.

Untuk kedua kalinya, aku menatap kepergian orang dekatku dengan perasaan hampa. Mataku nyaris berkaca-kaca lagi, tapi urung terjadi karena aku buru-buru menarik napas panjang berulang kali hingga suasana hatiku membaik. Entahlah, aku jadi sentimentil begini.

Selepas kepergian Lay, aku mengalihkan pandanganku pada sosok pria congkak bernama Bian yang barusan mengganggu acara pelukanku yang indah. Ia malah balas menatapku berkali-kali lebih tajam daripada yang tadi.

"Semuanya? Bisa jelaskan maksudnya?" Ia berkata pelan tapi tegas.

Alisku bertaut. Ya ampun, sepertinya akan ada perang lagi.

Ia membuka pintu mobil lalu menyuruhku masuk tanpa menunggu jawabanku atas pertanyaannya tadi. Aku duduk di depan, tepat di samping kursi kemudi yang diduduki Bian. Melihat raut wajahnya yang masam, aku merasa perang yang barusan kupikirkan tadi benar-benar sudah di depan mata.

Dengusan pria itu terdengar. Ekspektasinya pasti sudah buruk. Dia pasti sedang memikirkan bahwa aku benar-benar menceritakan semuanya. Ah, ini juga karena si Lay! Kenapa dia harus mengeluarkan kata-kata 'semuanya', sih?

"Aku hanya bilang kalau aku ada perjanjian yang membuatku tidak bisa menemuinya seperti dulu," jelasku sebelum perang dunia ketiga pecah.

"Tapi Lay bilang 'semuanya'. Kau tahu kan ini perjanjian penting kita? Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau sampai memberitahukan semuanya pada pemuda itu!"

Aku mendengus pelan. Lihatlah kelakuannya. Sekarang ia berusaha mengancamku. Bertambah sudah kejelekannya di mataku.

"Aku tidak akan melanggar perjanjian kita. Tapi memang aku harus memberitahukan padanya jika aku ada perjanjian denganmu, itu pun hanya untuk berjaga-jaga. Setidaknya dia sudah mengerti, kan."

"Astaga, mucikarimu itu--"

"Dia bukan mucikari dan aku bukan perempuan serendah itu! Tolong jangan membuatku merasa semakin buruk. Dia pemuda yang baik. Kau hanya belum mengenalnya," selaku kesal dengan suara meninggi. Demi apa pun, aku jadi semakin ingin menjejalkan sesuatu yang pedas ke dalam mulutnya yang berbisa itu. Ia berhasil membuat mood-ku terjun bebas ke titik terendah.

Bian terlihat sangat kesal. Lebih kesal dariku sepertinya. Baiklah, aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi. Aku sudah merasa cukup buruk dengan tubuhku yang kurang sehat saat ini. Aku tidak ingin menambah penderitaanku dengan pertengkaran tidak berfaedah dengan pria berwajah lembut, tapi berhati batu dan berlidah tajam di sampingku ini. Sebisa mungkin, aku menahan semua kemungkinan yang bisa membuat keadaan memanas di antara aku dan Bian.

Aku berusaha menetralisir keadaan melalui sebuah pertanyaan, "Minah bilang kau akan menjemputku satu jam lagi. Kenapa tiba-tiba kau muncul?"

"Kebetulan lewat," jawabnya singkat, padat, dan jelas.

Ia melirikku sekilas. "Wajahmu pucat. Kau sakit?"

Aku mengabaikan pertanyaannya dan bertanya hal yang lain, "Minah di mana sekarang?"

ANOMALYWhere stories live. Discover now