08. Back To Reality

66.6K 9.7K 1.2K
                                    

Pukul tujuh lebih sepuluh menit Waktu Indonesia bagian Tengah.

Tatapanku menerawang seakan mampu melewati batas horison. Pesawat telah take off dan mulai climbing dan terus menambah ketinggian hingga menembus awan. Bangunan-bangunan, jalan, kendaraan, dan segala benda di bawah sana mulai mengecil. Sesekali pesawat berbelok hingga semuanya terasa miring dan terlihat jungkir balik bagiku yang masih asing dengan naik pesawat. Langit yang sangat cerah dan biru berpadu indah dengan keindahan pulau yang baru saja aku tinggalkan itu.

"Aku pikir, aku tidak akan melihat sinar matahari hari ini."

"Kenapa?" tanya Bian tanpa melepas maskernya.

"Semalam kau membuatku hampir mati."

"Aku juga hampir mati. Aku tidak bisa berhenti sampai reaksi obat itu hilang. Kau pikir hanya kau saja? Itu kan kesalahanmu sendiri," jawabnya datar, seperti tidak terjadi apapun yang memalukan semalam.

Aku sedikit miris mendengar pengakuannya.

"Iya. Aku tahu. Maaf...," kataku pelan.

Pandanganku kembali melayang ke luar jendela pesawat.

Aku bergumam, "Semoga aku masih punya muka untuk bertemu istrimu."

"Mukamu tidak akan ke mana-mana. Dia yang menginginkannya," sahutnya masih datar sambil membaca majalah.

Aku termenung mendengarnya. Pria ini benar. Harusnya aku bisa bersikap biasa saja nanti di depan Minah. Wanita itu yang mengharapkan ini terjadi, walaupun aku yakin, ia pasti terluka karena menyerahkan lelakinya padaku.

Aku kembali melempar objek pandanganku pada kumpulan awan nan jauh di sana. Perlahan, segaris senyuman tipis terulas di bibirku. Kenanganku telah tergores sempurna di Pulau Dewata. Walaupun kenangan itu hanya berupa kenangan menyebalkan bersama Bian, setidaknya ada cerita yang telah aku ciptakan di sini.

***

Dengan kissmark bertebaran di tubuh seperti ini, rasanya mustahil aku pulang ke rumah. Kyung bukanlah anak polos yang menerima alasan digigit serangga ketika melihat kondisi kulitku yang memprihatinkan seperti ini. Belum lagi caraku berjalan yang jadi aneh, seperti nenek berkaki pengkor yang terkena encok.

Pemuda itu pasti akan menanyaiku habis-habisan. Aku tidak akan bisa mencari alasan yang cukup masuk akal untuk membuat anak itu bungkam. Jadi aku meminta pada Bian agar diantarkan ke apartemen saja. Tentunya setelah menghubungi Kyung dan mengatakan jika liburanku di Jeju diperpanjang dua hari lagi.

Aku bersiap-siap akan mendamprat suami kontrakku kalau saja ia menolak permintaanku. Semua ini kan gara-gara dia! Beruntung ia setuju-setuju saja, malah cenderung mendukung. Kami pun meluncur ke apartemen.

Minah baru saja selesai menyiapkan makanan ketika aku tiba di sana. Bian langsung pulang ke rumahnya setelah mengantarkanku di depan gedung apartemen. Ia tidak tahu kalau Minah ada di sini. Aku pun sedikit terkejut mengetahui keberadaan wanita cantik itu.

Ia tersenyum.

"Bagaimana?" tanya Minah berbisik ketika memelukku.

Minah, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan itu? Tak bisakah kau diam dan cukup tahu jika semuanya baik-baik saja? Batinku berkecamuk.

Wanita itu mungkin bisa menebak isi kepalaku. Ia melepaskan pelukannya, masih dengan senyuman yang membuatku kikuk. Sebenarnya rasa kikuk itu sudah hampir sirna. Tapi kejadian semalam membuatku merasa bersalah, dan... yeah, aku benci dengan sisi kewanitaanku yang satu ini. Aku bukan orang baik, tapi aku tetap merasa tidak enak karena aku jadi orang ketiga—walau itu kemauan Minah.

ANOMALYWhere stories live. Discover now