10. Farewell

67.7K 9.8K 1.6K
                                    

Kyung memasukkan es krim rasa vanila sendok demi sendok ke dalam mulutnya. Aku suka melihat caranya makan. Wajahnya begitu lucu dan menggemaskan, priceless.

Bian benar, aku beruntung memiliki adik seperti Kyung. Jika ada kontes adik terbaik di seluruh jagad raya ini, Kyung-lah orang yang paling cocok mendapatkan gelar terhormat itu. Ya, meskipun terkadang aku kesal melihat kelakuannya yang tengik jika sedang kumat.

"Noona, kita makan itu, ya." Kyung menunjuk sebuah Japanese cheese cake yang terlihat sangat empuk hingga memantul-mantul seperti trambolin. Ia pun segera meminta kue menggiurkan itu pada pramusaji yang stand by di belakang etalase.

Hari ini kami sengaja makan-makan di luar sebagai perpisahan. Jadi aku paksakan diriku meski badanku rasanya sungguh tidak enak. Sepertinya aku sakit. Badanku pegal dan kepalaku pusing. Aku harap ini hanya pre-menstruation syndrome saja. Semoga....

Mengingat soal beasiswa ke Jepang, aku jadi sedih. Jika menuruti ego, aku tidak akan pernah siap melepas adikku ke negara orang. Tapi aku akan tetap mendukung hal-hal baik yang ia lakukan. Lagipula, siapa yang sudah mengirimnya ke Jepang? Aku sendiri. Tentu saja karena perjanjian konyol itu.

"Jihyun."

Sekilas aku merasa seperti mendengar suara Lay. Aku pun menoleh ke sumber suara.

Nah, benar, kan! Pemuda tampan berdarah Tionghoa itu tersenyum dengan lesung pipinya yang manis.

"Kau ke mana saja?" tanya Lay yang langsung duduk di sampingku dan ikut mencomot kue kejuku tanpa permisi.

"Kyung, tunggu di sini," kataku pada Kyung. Kemudian aku menatap Lay. "Ikut aku."

Aku segera menarik Lay ke meja kosong di pojok kafe. Adikku tidak akan bertanya macam-macam. Ia tahu batasannya dan menghargai privasiku.

Lay menduduki kursi empuk, lalu mendekatkan wajahnya padaku dan bertanya, "Kau masih bersama Tuan Lee?"

"Iya. Aku punya perjanjian dengannya. Tapi aku tidak bisa bilang, karena itu akan melanggar isi perjanjian," jawabku langsung pada inti. Basa-basi bukanlah gaya kami.

"Berapa lama?" tanya Lay.

"Mungkin satu hingga dua tahun--"

"Apa?! Jihyun...."

"Dengarkan aku dulu. Selama aku masih terikat perjanjian, mungkin aku akan menghilang. Kau tidak boleh menemuiku. Dan tolong, rahasiakan dari siapa pun, termasuk Kyung." Ucapanku membuat mata lembutnya menyipit dan rahangnya mengeras.

"Kau tidak sedang bercanda, kan?"

Aku menggeleng pelan dengan senyuman terpaksa. Pemuda tampan itu menghela napas sebelum akhirnya mengangguk. Aku menghembuskan napas lega karena pemuda itu mau diajak berkomplot. Salah satu definisi persahabatan ala aku dan Lay adalah menjadi partner in crime yang ikhlas diajak bersekongkol dalam hal apa pun.

"Terima kasih. Aku tahu kau bisa diandalkan. Oh ya, kemarin Risa menanyakan kabarmu." Aku segera mengalihkan topik pembicaraan agar rahasiaku besarku selamat.

"Hhh...." Ia justru menghela napas dengan sedih.

"Kenapa? Kau tidak menyukainya?" tanyaku menyelidiki.

Ia menampik dengan cepat, "Bukan begitu...."

"Ah, jadi kau juga menyukainya!"

"Tapi semalam aku melihatnya sedang di kafe dengan lelaki lain," keluh Lay. Namun ia sama sekali tidak membantah perkataanku, yang aku anggap, ia memang memiliki rasa yang sama dengan Risa, sahabatku.

Pemuda ini sungguh kombinasi yang lucu dan unik. Walaupun tongkrongannya di pub atau kelab malam serta fisiknya terlihat sempurna dan maskulin, tapi dia benar-benar polos soal asmara. Selama aku bersahabat dengannya, aku tidak pernah melihatnya 'bermain dengan wanita, walaupun antrian wanita yang menginginkannya begitu banyak. Aku yang sahabatnya malah bisa bermesraan dengan santai. Poin plus bersahabat dengan mahluk jantan: serasa punya kekasih. Meskipun kenyataannya, status diri sendiri adalah single akut. Single dalam artian yang sebenarnya. Catatlah baik-baik kalau pernikahanku dan Bian hanya sebatas status, bukan urusan hati.

ANOMALYOnde as histórias ganham vida. Descobre agora