10

2.9K 416 93
                                    

Udah setahun lebih berlalu sejak gue ngedaki Merbabu bareng orang yang sebentar lagi bakal jadi istri gue.

Hehe. Jadi cengengesan kan.

Seorang Aryl Putra punya istri juga.

Keren kan gue ngelamarnya di puncak gunung? Melamar perempuan favorit memang harus di tempat favorit. Ehehe.

Walaupun tiap gue mengenang kisah itu sekaligus menyombongkan ide brilian gue ngelamar di gunung, Khal selalu bilang: "Itu akal bulus kamu kan ngelamar di puncak gunung biar aku gak bisa nolak?? Soalnya kalo aku nolak, bisa-bisa aku ditinggal, gak bisa turun."

Padahal mah gak mungkin juga gue ninggalin dia.

Dan gak mungkin juga gue ditolak.
Hahaha. (pasang kacamata rayban)

"My eternal soulmateeeeeee!!" Dikung tau-tau menerobos masuk ke ruang pengantin pria dan langsung menubruk gue kayak bajaj.

"Jijik banget sumpah, Kung. Pergi lu."

"Enaknya kita apain nih calon manten??!!" Dika menoleh ke belakang dan satu persatu temen deket gue masuk ke ruangan, temen sejurusan sampe temen mapala, termasuk Ajun.

"Kok lo bisa rapi ganteng gini sih, Cuk?"

"Bisa juga lo seger sepagi ini, Ryl." Ajun setengah mengejek.

"Ya iyalah, bisa dicincang gue sama Khal kalo bangun telat."

"Eh iya! Siapa yang mau ngasih tau Khalinta kalo belom terlambat buat berubah pikiran?" Dika masih berbacot ria sampe gue menyumpal mulutnya pake lemper sarapan penganten.

"Kita harus mastiin Khal gak lagi dihipnotis."

Sembarangan.

"Gila gila, masih gak nyangka, Ryl, orang sebangsat lo ada yang mau." Celetuk salah satu temen gue.

"Adalah," Gue mendelik sewot. "Ngantri, cuy. Tapi pendaftaran terbatas."

"Tokai berantakaaan."

"Anjing lo emang."

"Laknat."

Dalam sekejap ruangan pengantin itu jadi panas karena dipenuhin umpatan-umpatan. Heran tu mulut sebelum ke sini gak pada dicuci dulu apa ya.

"Gimana rasanya, Ryl? Bentar lagi resmi nikah?" Ajun mendekat ke arah gue dan mengajak gue brofist.

"Rasanya apaan ya. Gerah." Jawab gue sesuai kenyataan. Emang gerah Bos, pake baju begini, walaupun AC-nya udah nyala gue tetep kepanasan. Napa ya.

"Ooooo gerah," Dika mengangkat-angkat alisnya penuh makna. "Ademin dululah, Ryl. Longgarin, longgarin."

Gue otomatis menjitak Dika, "Mikir apa lo, setan?!"

Ah tuh kan, padahal gue udah berniat di hari penting ini gue gak bakal memaki, tapi emang mustahil menjalankan niat itu kalo ada tu siluman satu.

"Eh, Annisa lo undang gak?" Dika ngejeplak lagi. Gak sadar kalo pertanyaannya bikin ruangan tiba-tiba jadi sepi dan perlahan berpasang-pasang mata melirik gue.

Gue berdeham, "Gue undanglah. Paling ntar dateng sama suami sama anaknya."

"Kapan lo ngasih undangannya? Lo kasih langsung?" Tanya Ajun dengan dahi berkerut, kepo.

"Gue titip Mahe, kan Mahe temennya Dyo."

"Oh, Mahe yang anak Filkom kampus islam itu? Yang sering ngedaki bareng kita?"

"Iye."

Tahu-tahu pintu membuka, dan Mbak-mbak yang tadi nata rambut gue (dengan amat sabar, karena gue gak mau diem) muncul dari baliknya, "Yuk Mas, udah waktunya."

From ArylWhere stories live. Discover now