Prologue

247 9 4
                                    


Sekolah sudah sepi saat Rega melangkahkan kakinya menuju gerbang depan. Saat ingin melewati lorong kelas tempat di mana loker-loker milik anak kelas 12 berada, saat itu juga Rega tahu, ternyata sekolah belum sesepi yang ia pikirkan.

Alih-alih ikut ambil bagian dalam keributan yang terjadi di depan loker, Rega malah merapatkan tubuhnya ke dinding terdekat. Dalam hati ia merutuki dirinya sendiri kenapa ia bisa sepengecut ini. Sial, Rega memang tidak pernah menang dari orang itu.

Arjuna memijat pelipisnya sebentar, sementara matanya tetap menatap benci pada sosok perempuan bertubuh mungil dengan rambut lurus sebahu di depannya. Rega tidak yakin betul bagaimana ekspresi perempuan itu karena saat ini ia memunggui Rega, tapi yang jelas, Rega tahu betul siapa dia. Dan fakta itu jelas-jelas adalah satu kelemahan Rega.

Suasana sepi di koridor dipecahkan dengan suara lirih perempuan itu. Setiap kata yang keluar dari bibir perempuan itu entah bagaimana bisa membuat hati Rega terasa nyeri luar biasa. "Kamu harus perca—"

Belum sempat kalimat itu selesai, Arjuna sudah mendorong tubuh mungil perempuan itu hingga membentur deretan loker-loker hijau di belakangnya. Rega melebarkan matanya. Tangan kanannya refleks mengepal saat melihat perlakuan kasar Arjuna pada gadisnya.

Masih belum puas Rega merutuki Arjuna dalam hati, sampai satu fakta baru yang ia dapati, ekspresi perempuan itu. Nyaris tidak ada ekspresi kesal ataupun marah di sana. Emosi yang ada hanya air mata yang terus mengalir dari kedua mata indah perempuan itu. Pun saat Arjuna tadi melemparkannya bak barang bekas ke loker hijau yang menyatu dengan dinding, tidak ada ekspresi marah di sana, yang ada hanya kesedihan yang mendalam. Membuat perempuan itu menunduk lebih dalam dan lebih dalam lagi, tidak berani menatap mata Arjuna.

Begitupun saat Arjuna memakinya sambil menujuk wajahnya, ekspresinya tetap sama. Seolah kalimat, "Jangan pernah ungkit-ungkit hal itu lagi di depan gue, Anjing!" yang dilontarkan Arjuna belum cukup membuat cinta perempuan itu luntur. Cinta perempuan itu, satu hal lagi yang membuat daftar kekalahan Rega terhadap Arjuna semakin panjang saja.

Fakta-fakta di atas membuat hati Rega seperti diremas-remas sampai hancur tak bersisa. Melihat pujaan hatinya disia-siakan oleh orang yang dia cintai. Oleh orang yang bahkan selalu menatap perempuan itu dengan pandangan merendahkan. Berbagai kalimat-kalimat seandainya berkecamuk di dalam kepala Rega. Penyesalan saat ini mencekam kuat hati Rega tanpa bisa ia kuasai.

Setelah meneriakkan kalimat tadi, Arjuna berlalu begitu saja. Meninggalkan Dara tanpa menoleh ke belakang lagi. Sementara Dara tampak mati-matian menahan air matanya, sampai tanpa sadar, lama-kelamaan sadarannya pada dinding loker merosot turun hingga saat ini ia jatuh terduduk di lantai keramik yang dingin. Menambah perih hati Rega. Namun, belum saatnya ia keluar dari tempat persembunyiannya.

Rega mengerti, sudah saatnya menghentikan perlakuan Arjuna. Sudah saatnya ia merebut Dara-nya lagi. Sudah saatnya Arjuna kalah.

Walaupun hidup selalu punya tetapi, manusia tetap memiliki batas dalam menggunakan kesempatan-kesempatan yang mereka punya. Hidup selalu punya takdir.

Rega boleh mengerti segalanya, Rega boleh menyesali segalanya. Namun, Rega tetap terikat pada apa-apa yang disebut takdir tadi. Rega tahu, ia sungguh-sungguh tahu apa yang membuat Arjuna bisa semarah tadi.

Karena di sekolah ini, hanya Rega-lah yang tahu betul tentang Arjuna, saudara tirinya.

Ah, selalu saja begitu. Lagi-lagi takdir ingin ikut campur dalam urusan hidup Rega.


***

Uwow uwow! Kangen juga nulis. Kalian kangen juga nggak? By the way, apa ini cuma menurut aku aja, atau kebanyakan dari penulis fiksi remaja itu pensiun nulis genre tadi setelah lulus SMA? HEHE.

20 Juli 2017

Heart Like YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang