6

50 5 0
                                    


Bukan dikeluarkan dari sekolahlah yang membuat air mata Dara mengalir tiada henti sejak satu hari yang lalu. Sungguh, dirinya benar-benar siap atas kemungkinan terburuk itu saat ia mengetahui ada "sesuatu" yang hidup di dalam perutnya.

Bekali-kali Dara menahan tangisnya dan bekali-kali juga pertahanannya hancur. Hanya karena melihat Rega terbaring dengan seluruh wajahnya yang lebam di atas ranjang kamar kostnya sejak kemarin, hati Dara seperti diremas, hancur. Merutuki betapa banyak kebodohan yang ia perbuat.

Semua salahnya, semua. Kemarin ketika akhirnya Rega ambruk tanpa ada satu orang pun yang terlihat peduli, tangis Dari semakin pecah. Berkali-kali ia memohon, meminta, bahkan mengemis pada siapa pun yang ada di ruangan itu untuk membantu Rega, tapi sekali lagi, tidak ada satu orang pun yang terlihat peduli, sekalipun itu ayah Rega.

Mereka hanya menatap ke arah Dara dan Rega sebagai pendosa yang seharusnya tidak perlu lagi dikasihani. Tetapi, bukan Rega, bukan. Rega bukan pendosa, bukan seperti dirinya. Namun, mengapa harus Rega? Mengapa harus Rega yang saat ini sedang memejamkan matanya di atas tempat tidur Dara?

Rega yang selalu ada ketika Dara perlu, tapi apa yang sekarang telah dilakukan Dara pada Rega? Apa balasan Dara?

Sampah.

Sungguh, hati Dara terasa sakit, sangat sakit sampai ia lupa caranya untuk berhenti menangis. Melihat Rega selalu membuat Dara teringat akan perlakuan ayah Rega terhadap putra kandungnya. Rega bukan sampah. Tetapi mengapa? Mengapa semua orang menatap Rega demikian?

Karena salahnya. Karena kesalahan Dara. Karena keegoisan Dara. Hanya karena janji semu yang diucapkan Arjuna, Dara seakan setuju untuk melimpahkan semua dosa yang ia perbuat pada Rega.

Sekali lagi, isakan Dara semakin kencang. Sambil menggenggam erat tangan kanan Rega dan menciuminya, Dara benar-benar terisak.

Dulu, Rega-lah yang akan menjadi sandaran Dara ketika ia menangis. Namun saat ini, sandaran itu ada, tapi Dara tidak tahu apakah dirinya masih boleh bersandar pada Rega. Apakah pantas? Apa yang akan ia katakan ketika Rega sadar nanti? Semarah apakah Rega pada dirinya? Sungguh, memikirkannya semakin membuat hati Dara sesak.

Saat Dara mendapati gerakan tiba-tiba dari laki-laki yang saat ini terbaring di hadapannya, saat itu juga Dara semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Rega, seolah tidak ingin kehilangan Rega.

Rega tampak menyipitkan matanya, membiasakan diri dari cahaya yang baru dilihatnya setalah lama tertidur. Setelah itu, ia bisa merasakan sakit di seluruh bagian tubuhnya, seperti habis diinjak-injak. Rega mengerjapkan matanya, berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi.

Ketika mendengar suara isakan dari sebelahnya, Rega menoleh dan mendapati perempuan mungil yang selalu mengisi hati dan pikirannya sedang terisak sambil mengenggam erat tangannya.

Hanya untuk mengeluarkan suara saja seperti Rega tampak kepayahan. Susah payah ia membuka mulutnya yang dihiasi lebam kebiruan, hingga akhirnya kata pertama yang berhasil keluar dengan suara serak Rega berhasil membuat Dara terisak lebih keras, "Da ... ra?"

Tidak perlu bertanya pada Dara ada di mana dirinya sekarang, Rega tahu ini adalah kamar kost Dara. Dara memang tinggal jauh dari orang tuanya. Jelas saja Rega sering ke sini, hanya untuk alasan sepele seperti membelikan Dara martabak sampai mendengarkan cerita Dara.

Seluruh kenangannya dengan Dara rasanya seperti tak berarti saat Rega ingat alasan mengapa Dara terisak begitu dalam.

Dengan kasar, Rega menarik tangannya dari genggaman Dara, membuat Dara langsung menatap Rega dengan mata basahnya yang penuh penyesalan. Sementara Rega, ia sendiri tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Dara. Hanya saja, sungguh, dirinya benar-benar kecewa. Dara yang mengerti apa yang dikatakan mata Rega hanya bisa menunduk tanpa tau apa yang harus ia katakan selain, "Maaf."

Susah payah akhirnya Rega duduk dan perlahan-lahan turun dari tempat tidur Dara. Hal itu tentu saja membuat Dara ikut bangun dari duduknya. "Maaf, Re. M-maaf."

Tetapi Rega tidak mengatakan apa pun, hanya berdiri memunggungi Dara yang masih terus menangis. "R-rega, maaf."

"...."

"Maaf Rega, maaf."

"...."

Perlahan, Dara menyentuh lengan Rega, berusaha menahan air matanya. "Nggak papa Re. Nggak p-papa kalo kamu nggak mau liat aku lagi. Tapi Re, t-tolong jangan diem aja."

Rega tidak bergerak sedikit pun atau bahkan merespon sentuhan Dara. Pikirannya kalut.

"Rega tolong. R-rega, maaf. M-maaf, aku minta maaf."

Sadar usahanya akan sia-sia, Dara langsung beralih ke hadapan Rega, menggenggam kedua tangan laki-laki itu, lalu menatap matanya lekat-lekat dengan mata Dara yang basah. Tidak ada tatapan kecewa lagi, hanya kosong. Seperti Rega tidak peduli dengan apa yang saat ini ada di hadapannya. "Rega, m-maaf. Kamu boleh marahin aku Re, kamu b-boleh bentak-bentak aku."

"...."

"Kamu boleh pukul aku!" Dara menarik tangan kanan Rega menuju pipinya, berharap agar Rega memukulnya. Namun, tidak ada yang berubah, Rega masih menatap Dara dengan kosong. "Tolong Re, t-tolong pukul aku. B-biar aku tau ... biar a-aku tau rasanya jadi kamu."

Dara menundukkan wajahnya, membuat air matanya kian turun. "Tolong Rega, tolong jangan diem aja."

"...."

"Rega," lirih Dara. "Apa pun Re, apa pun akan aku lakuin asal kamu mau maafin aku."

"...."

"Rega." Suara Dara kali ini terdengar lebih lirih. "Kalau perlu, aku akan sujud di kaki kamu Re, apa pun. Apa pun asal kamu maafin aku."

Saat tidak kunjung mendapatkan jawaban dari Rega, akhirnya Dara langsung berlutut di hadapan Rega, dan perlahan-lahan, membungkukan badannya sampai ia benar-benar bersujud di kaki Rega. Rega memejamkan matanya, membuat satu butir air mata akhirnya meluncur. "Kenapa?"

Pertanyaan Rega tersebut seperti diajukan kepada dirinya sendiri. Dirinya hancur, berkeping-keping saat melihat perempuan yang ia cintai kini ada di kakinya sambil terisak hebat, merendahkan diri hanya untuk mendapat maaf dari dirinya.

Tanpa bisa dicegah lagi, akhirnya Rega berjongkok. Saat posisinya hampir sama dengan Dara, ia mengangkat Dagu perempuan itu. Memaksanya menatap mata Rega.

"Ma—" saat itu juga Rega langsung membawa Dara ke dalam dekapannya, memeluk Dara erat yang langsung menangis tanpa suara. "Maaf, Rega."

Rega menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya melepaskan pelukannya. "Nggak perlu seperti itu, Dara. Nggak perlu."

Dara menunduk, membuat Rega kembali mengangkat dagu perempuan itu. Yang pertama kali Dara lihat adalah mata Rega yang tampak sangat terluka. Membuat Dara lagi-lagi merasa begitu hina.

"Kenapa?"

Dara tidak merespon, ia hanya menelan salivanya mendengar nada suara Rega yang begitu dingin

"Jawab."

Dara menggeleng, tidak tahu harus menjawab apa. Seperti biasa, ia hanya terus terisak.

"Dara?" Nada suara Rega melunak.

Susah payah Dara menjawab, "Y-ya, Rega?"

"Will you marry me?"

Saat itu juga, lidah Dara langsung terasa kelu.

***

WHAAAAA gils, walaupun nggak ada yang nungguin, tapi yhaaa maaf ya late update wkwk (star syndrom ew). Happy reading!

Jangan lupa tungguin Epiologue-nya, ya!

27 Juli 2018

Tengah malem koq tapi wkwk, bye

Heart Like YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang