TAHU DIRI

760 77 1
                                    

Hari masih pagi, Rania belum seperempat jam duduk di meja kerjanya, tapi ia serasa ingin makan orang (tentu saja bukan dalam arti sebenarnya). Intinya, Rania sangat marah, kesal, gondok, dan berbagai emosi negatif lainnya. Kepala Rania rasanya panas dan ingin meledak. Itu semua terjadi hanya karena surel yang baru saja ia baca. Dari penulis yang naskahnya Rania tangani.

Sudah dua tahun Rania bekerja sebagai editor fiksi di sebuah penerbitan. Pekerjaan yang menurutnya sangat menyenangkan, mengingat kecintaannya pada dunia literasi, terutama fiksi. Makanya saat lulus dari kuliah dan membaca informasi lowongan pekerjaan sebagai editor dari sebuah penerbitan, Rania langsung mengirimkan surat lamaran. Sebanarnya Rania saat itu tidak berharap banyak, mengingat dirinya sama sekali tidak memiliki pengalaman. Namun, pepatah lama itu ada benarnya, rejeki tak akan tertukar. Rania diterima bekerja sebagai editor di penerbitan tersebut.

Banyak pengalaman yang didapatkan Rania dari pekerjaannya ini. Baik suka maupun duka. Semua Rania anggap sebagai tantangan yang menempa pribadinya jadi lebih baik. Bergadang demi mengerjar deadline pun dilakoni wanita itu tanpa keluhan (bahkan ia mensyukuri hal tersebut).

Namun, pagi ini berbeda. Mungkin efek dari mood-nya yang buruk sejak semalam. Atau penulis yang sedang bekerjasama dengannya benar-benar keterlaluan.

Rania membaca lagi surel di layar komputernya, dan perasaannya makin memburuk. Tanpa sadar Rania mengepalkan tangan lalu memukul meja. Suara gaduh itu membuat Dara, rekan kerja yang duduk di kubikel sebelah, menoleh kepada Rania dengan kening mengernyit.

"Kenapa?" tanya Dara.

"Kau baca saja sendiri," jawab Rania seraya menunjuk layar komputernya. Wanita itu menyugar rambut, yang hari ini dibiarkan tergerai, lalu menjambaknya karena kesal.

Dara bangkit dari kursi kerjanya, lalu berdiri di belakang Rania. Dara meletakkan tangannya di sandaran kursi Rania lalu sedikit membungkuk agar dapat membaca tulisan di layar komputer.

Kalimat pertama yang keluar dari bibir Dara setelah membaca surel itu adalah umpatan. "Penulis kurang ajar!" tambahnya kemudian. Sekarang Dara tahu kenapa Rania bisa begitu emosi pagi ini.

Siapa pun pasti akan mengamuk kalau kerja kerasnya tidak dihargai. Tidak hanya itu, Rania juga merasa harga dirinya diinjak-injak. Lihat saja, seorang penulis baru saja mengacaukan pekerjaannya. Penulis itu tidak terima Rania mengubah cerita yang sudah dia tulis. Penulis itu beralasan, kalau cerita itu diubah, berarti karya itu tidak lagi murni karyanya. Demi idealismenya.

"Persetan dengan idelisme!" umpat Rania kemudian. "Naskah hancur seperti itu saja sok bicara idealisme. Plot hole sana sini. Adegan-adegan klise. Logika yang tidak masuk akal. Aaarrggghh ...," Rania mengerang, tak sanggup meluapkan kemarahan yang menggelembung di dadanya.

"Separah itu?" tanya Dara.

Rania menganggguk. "Opening bangun tidur dan tetek bengeknya. Adegan tabrakan yang memicu awal mula hubungan asmara. Banyak hal lain yang bikin naskah ini tak layak untuk terbit."

"Penulis Wattad?"

Sekali lagi Rania mengangguk. "Dan famous. Puluhan juta kali dibaca. Membuat penulisnya besar kepala!"

Dara mengerti. Akhir-akhir ini memang banyak penulis baru yang hadir lewat platfrom menulis secara gratis tersebut. Lewat Wattpad siapa saja bisa menjadi penulis, menciptakan karyanya. Tidak peduli naskah itu bagus, biasa saja, atau buruk. Lalu muncullah penulis-penulis famous Wattpad karena cerita mereka mendapat viewers jutaan. Angka yang cukup fantastis. Tapi sayangnya, banyak naskah yang mendapat pembaca sebanyak itu adalah naskah belum memenuhi standar sebuah karya yang baik. Yang lebih disayangkan lagi, berbagai penerbitan berlomba-lomba menerbitkan naskah-naskah tersebut. Tak terkecuali penerbitan tempat Rania bekerja.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Rania bekerjasama dengan penulis Wattpad, tapi ini jelas pertama kalinya bertemu penulis Wattpad yang kurang ajar. Sama sekali tidak bisa melihat kerja kerasnya untuk mengubah naskah ini menjadi lebih baik dan layak untuk dijual.

"Dealine naskah ini kapan?"

Rania mengangkat dua jarinya. "Dua minggu lagi harus naik cetak. Ya Tuhan ... aku harus gimana?"

"Konsultasikan dengan Pak Danu," saran Dara. Pak Danu adalah chief editor. "Mungkin beliau bisa membantu."

Dara benar. Di saat seperti ini tidak ada cara selain berkonsultasi dengan atasannya. Bagaimanapun, ia harus tetap menjaga hubungan baik dengan penulis tersebut.

Setelah Dara kembali ke kubikelnya, Rania menatap lagi layar komputernya.

"Narendra Hamid," ucap Rania membaca nama pengirim surel yang membuat emosinya meledak sepagi ini.

***

Rania baru keluar dari lift saat matanya menemukan sosok Liam di lobi kantornya. Liam sedang berdiri dengan tangan kanan di pinggang, sementara tangan kirinya terangkat di telinga. Sepertinya Liam sedang menelepon seseorang.

Ada sekitar semenit Rania terdiam di tempat, mengatur gejolak yang mengguncang dadanya, sebelum memejamkan mata dan menarik napas berkali-kali. Setelah merasa cukup terkendali, Rania mendekati Liam.

Ketika Liam melihat Rania, sudut bibir pria itu terangkat. Menimbulkan efek pada jantung Rania. Dan efek itu makin menggila saat Liam berlari kecil ke arahnya. Untuk sesaat Rania merasa Liam adalah kekasihnya, dan pria itu berlari ke arahnya karena rindu. Gagasan yang sungguh gila.

"Syukurlah aku menemukanmu. Dari tadi aku terus menelepon, tapi tak tersambung," kata Liam dengan senyum yang masih bertahan di bibir, senyum yang membuat sekujur tubuh Rania panas dingin.

Rania mengecek ponselnya di dalam tas, ternyata benda itu mati. Sepertinya kehabisan baterai. "Mati," kata Rania seraya memperlihatkan ponselnya ke Liam.

"Pantas saja." Liam tetawa pelan.

"Ada perlu apa kau ke sini?" tanya Rania.

"Tadi aku ada keperluan di sekitar sini, melihat gedung untuk kafe yang ingin aku rintis. Karena urusannya sudah selesai, dan bertepatan dengan jam makan siang, jadi aku memutuskan untuk mampir ke sini untuk mengajakmu makan bersama."

Rania sudah tahu rencana Liam membuka kafe lewat Kana. Bulan lalu Liam baru resign dari pekerjaannya sebagai chef pastry di sebuah hotel. Dari Kana, Rania megetahui alasan Liam resign karena ingin merintis usaha sendiri.

Mengenai kedatangan Liam mengajaknya makan siang bersama tentu saja membuat hati Rania berbunga-bunga. Untuk sesaat ia lupa kenyataan bahwa pria itu adalah kekasih Kana. Di benak Rania saat ini hanya ada satu kenyataan, Liam  mengajaknya makan siang. Itu berarti Liam memikirkannya.

Dan kenyataan itu membuat bibir Rania tersenyum lebar.

"Aku sudah minta izin Kana untuk mengajakmu makan siang," kata Liam kemudian.

Dalam sekejap, bunga-bunga yang tadi mekar di hati Rania, layu dan gugur. Rania bisa merasakan hatinya patah berkeping-keping.

Rania kembali dihantam realita bahwa Liam adalah kekasih Kana. Pria itu milik kakaknya. Dan ... ia tidak akan punya kesempatan memenangkan hati pria tersebut.

Seharusnya Rania tahu diri.

***

RANIAWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu