DUGAAN

882 67 3
                                    

Naren melirik jam tangannya, jam 11 siang. Sudah satu jam dari jadwal janji temu, tapi sosok Rania belum muncul juga. Naren mengeluarkan ponsel dari saku celana, membuka aplikasi Whatsapp, dan menemukan beberapa pesan yang ia kirim belum dibaca. Kegelisahan mulai merabati hati cowok itu.

Kemudian Naren menimbang-nimbang. Di layar sudah tertulis angka 9. Itu panggilan cepat yang ia gunakan untuk Rania. Apa lebih baik ia menelepon wanita itu?

Namun, Naren menggeleng. Tidak perlu. Lebih baik dirinya menunggu saja. Rania pasti akan datang. Ia memercayai itu--atau lebih tepatnya berharap seperti itu.

Selama menunggu Naren menatap gelas matcha latte miliknya yang tinggal sedikit. Dinding gelas yang berair dan menciptakan sedikit genangan di meja kayu berwarna papan catur tersebut. Bosan menatap dan memainkan minumannya dengan sedotan, Naren mulai mengedarkan pandangan. Dream Catcher masih sepi. Wajar, sih, soalnya kafe ini mulai ramai di atas jam 12 siang.

Dream Catcher adalah kafe yang terletak tidak jauh dari kampus Naren. Kemarin Naren yang mengusulkan tempat ini sebagai titik temu mereka, mengingat dirinya juga ada janji bimbingan, dan disetujui oleh Rania. Dream Chatcher kafe sederhana yang dikelola oleh sepasang suami-istri berusia awal 30-an. Jadi tidak mengherankan kalau konsep kafe ini sangat kekinian.

Dream Catcher berkonsep semi terbuka. Dindingnya bata merah dipernis dengan tinggi sepinggang orang dewasa, lalu dilanjutkan oleh kaca, membuat kafe ini terang benderang. Kap-kap lampu antik bergantungan di atas tiap meja yang diapit dua sofa empuk berwarna cokelat kayu. Ada fuurin tergantung di pintu masuk, yang berbunyi setiap kali ada tamu yang datang. Papan menu, dengan tulisan handwriting, di letakkan di samping pintu masuk, membuat tamu yang datang bisa mengetahui menu apa saja yang ada. Oh iya, yang menarik dari Dream Catcher adalah menu setiap harinya selalu berubah-ubah. Selalu ada varian baru yang membuat pelanggan semakin betah datang karena tidak bosan dengan menu-menu itu saja. Salah satu  pelanggan itu adalah Naren.

Suara gemerincing fuurin membuat Naren menoleh ke pintu masuk. Seketika bibir cowok itu melekukan senyuman. Akhirnya, wanita yang ia tunggu datang.

"Sorry, saya telat," ucap Rania merasa bersalah. Perasaan itu semakin bertambah saat melihat gelas yang hampir kosong di atas meja yang diduduki Naren. "Tadi saya harus ke dokter," Rania menambahkan. Sebenarnya ia tidak seharusnya menggunakan alasan itu untuk keterlambatannya, tapi ia tidak punya alasan lain. Rania hanya berharap informasi itu bisa membuat Naren maklum atas keterlambatannya.

"Apa yang terjadi?"

Sungguh Rania tidak menyangka reaksi Naren akan seperti ini. Ia pikir pemuda itu akan mencak-mencak kepadanya karena bersikap tidak profesional. Nyatanya, Naren menatapnya khawatir.

"Ini," Rania menunjukkan tangannya yang tadi disembunyikan di balik punggung. Tangan itu diperban. "Terkena air panas," jelasnya kemudian.

Naren menatap tangan itu beberapa jenak, sebelum menatap tepat ke manik mata Rania. Ada ketulusan di mata pemuda itu yang mampu dirasakan Rania. "Parah?"

Rania tersenyum tipis dan menggeleng. "Tidak terlalu." Lalu wanita itu menarik kursi di hadapan Naren dan duduk di sana. "Baiklah, mari kita diskusikan perbaikan yang sudah kamu lakukan," kata Rania kemudian.

"Pesan makanan dan minuman untuk Mbak Rania dulu."

Setelah mengatakan itu Naren berdiri dan berjalan menuju konter. Tentu saja hal itu menimbulkan kerutan di dahi Rania. Kalau Naren memesan makan dan minuman untuknya, kenapa pemuda itu sama sekali tidak menanyakan apa yang ia inginkan?

Beberapa menit kemudian Naren kembali duduk di tempatnya. "Nanti diantar pramusajinya," terangnya saat Rania masih menatapnya dengan kening berkerut.

"Tadi itu kamu memesan untukku?"

Naren dengan enteng mengangguk. Lalu sudut bibirnya terangkat, "untuk saya juga, sih." Lalu kekehan pelan keluar dari bibirnya.

"Kamu memesan tanpa perlu bertanya kepadaku?"

Naren menggeleng. Lalu ia melipat tangan di atas meja, mencondongkan tubuhnya ke arah Rania. Dengan kepala sedikit miring dia berkata, "Saya sudah tahu apa yang Mbak Rania mau."

Kerutan di kening Rania semakin bertambah. Maksudnya apa ini?

"Maksudnya?" Rania sungguh tidak mengerti.

Namun bukannya menjawab, Naren malah memundurkan tubuhnya dan tersenyum misterius.

Astaga, ada apa sih dengan pria-pria yang Rania temui hari ini? Kenapa sikap mereka begitu aneh? Sungguh hari ini menjadi hari paling membingungkan dalam hidup Rania.

Akhirnya Rania memilih mengabaikannya. Sekarang lebih baik ia fokus dengan tujuannya bertemu dengan Naren.

"Gimana, catatan yang saya berikan sudah kamu perbaiki?"

Melihat perubahan raut wajah Naren, Rania tahu masalah revisi naskah ini tidak akan mudah.

Baiklah, Rania siap untuk berdebat!

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 05, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RANIAWhere stories live. Discover now