CEMBURU MENGURAS HATI

563 60 0
                                    

Hujan turun tiba-tiba. Padahal lima menit lalu langit masih cerah. Sama sekali tidak ada tanda-tanda seperti awan gelap yang menggantung, angin yang berhembus, atau kilat yang menyambar. Namun, hujan yang turun tiba-tiba sudah menjadi hal yang lumrah. Pemanasan global membuat cuaca menjadi tidak menentu.

Untung saja sore itu Rania sudah sampai di rumah. Hari ini ia pulang lebih cepat. Kondisi kesehatannya sedikit bermasalah, efek beberapa hari bergadang. Belum lagi gangguan dari Naren, sering kali membuat emosinya naik-turun seperti roller coster. Untungnya, kini pria itu mau diajak kerjasama. Terbukti Naren mau merevisi naskah sesuai dengan arahannya. Ya, walau kadang kala Naren bersikap keras kepala mempertahankan beberapa bagian yang menurut Rania absurd, tapi bisa dikatakan kerjasama mereka lancar. Kata pepatah, selalu ada kerikil pada sebuah perjalanan. Tidak semuanya bisa berjalan mulus, kan?

Sesampai di rumah, Rania langsung menuju dapur. Ia lalu membuka kabinet untuk menemukan kotak P3K. Rania butuh paracetamol. Tidak sulit bagi Rania menemukan obat tersebut. Setelah itu Rania meraih gelas, mengisinya dengan air dari dispenser, lalu meminum paracetamol. Sekarang ia hanya butuh tidur untuk memulihkan tenaganya.

***

Rania terbangun di kamar yang gelap gulita. Di luar hujan masih turun karena ia mendengar suara hujan yang mengetuk-ngetuk kaca jendela. Rania menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, lalu menurunkan kaki dari ranjang. Tujuannya adalah menemukan sakelar lampu. Meski gelap, tidak sulit bagi Rania menemukannya. Sekali jentik, cahaya membanjiri kamar yang semulanya gelap gulita. Rania sempat memejam saat kamarnya jadi terang benderang.

Sambil menggulung rambutnya, Rania keluar dari kamar. Tenggorokannya terasa kering. Jadi, Rania melangkahkan kaki menuju dapur. Dari kamarnya menuju dapur, Rania harus melewati ruang santai. Di sana dia melihat Liam. Pria itu tidak sendirian. Ada Kana dalam pelukannya. Mereka menonton film dalam posisi berpelukan.

Melihat kemesraan di depannya, Rania segera membuang muka. Dia merasa seperti ada gumpalan di tenggorokannya, yang membuat saluran pernapasannya tersumbat. Rania mencoba menelan, agar gumpalan itu lenyap, tapi ia malah merasa tenggorokannya sakit seakan ditusuk duri.

"Rania," sapa Kana yang akhirnya menyadari kehadiran Rania.

Rania berdeham pelan, lalu mengangguk. Kemudian ia melanjutkan langkahnya menuju dapur tanpa menoleh kea rah Kana dan Liam. Jangan-jangan menoleh, bisiknya saat menguatkan langkah. Sungguh melihat Kana dan Liam berpelukan saja sudah membuat hatinya hancur. Padahal hal yang lumrah kan Kana dan Liam melakukan itu, mengingat mereka adalah sepasang kekasih.

Sesampai di dapur, dengan tangan gemetar Rania mengambil gelas di rak dan mengisinya dengan air dari dispenser. Lalu wanita itu meneguknya, sedetik kemudian terbatuk-batuk karena minum dengan terburu-buru. Kini hidungnya ikutan perih karena tersedak. Rania meletakkan gelas, kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Setelah itu tubuh Rania merosot hingga terduduk di lantai. Wanita itu akhirnya menangis.

Lalu terdengar suara langkah terburu-buru. "Rania!" Itu suara Kana. Dengan wajah panik Kana menghampiri Rania. "Kamu kenapa?" tanyanya seraya memeluk tubuh Rania.

Rania tidak menjawab. Wanita itu malah membenamkan wajahnya di bahu Kana.

"Astaga! badan kamu panas. Sepertinya kamu demam. Bagian mana yang sakit?"

Seandainya bisa, Rania ingin berterus terang bahwa bagian di dadanyalah yang sakit. Lebih tepat lagi hatinya. Tapi, bagaimana bisa dia mengatakan itu kepada Kana? Bagaimana dia bisa menjelaskan semuanya?

"Ada apa?" Kali ini suara Liam. Pria itu datang karena mendengar suara Kana. "Sayang, Rania kenapa?" tanyanya saat menyadari Rania menangis.

"Badannya panas. Sepertinya demam."

"Kita ke dokter saja," saran Liam.

Rania segera menggeleng. Dia tidak butuh dokter. Satu-satunya yang dia butuhkan saat ini adalah kembali ke kamarnya. Mengunci dirinya di sana.

"Kamar," kata Rania di sela isak tangisnya.

"Kamu mau ke kamar?" Kana bertanya dengan nada seakan Rania balita.

Rania mengangguk.

"Kamu yakin kita tidak perlu ke dokter?"

Sekali lagi Rania mengangguk. "Kamar," ulangnya lagi.

Akhirnya Kana membantu Rania berdiri. Liam mendekat hendak membantu. Namun langkahnya terhenti saat Rania berkata, "Kana saja."

"Aku antar Rania ke kamar dulu," kata Kana saat melewati Liam. Pria itu mengangguk, lalu mengikuti dari belakang sampai di ruang tengah.

***

Setelah memastikan Rania baik-baik saja, dan hanya butuh waktu untuk istirahat, Kana akhirnya mau juga meninggalkan Rania sendirian. Tapi sebelum keluar kamar dia sempat mengatakan, "Aku buatkan bubur untukmu. Kalau kamu butuh sesuatu telepon saja aku."

Rania mengangguk. "Maaf aku membuatmu khawatir."

"Kamu tidak perlu merasa bersalah. Sudah seharusnya aku mengkhawatirkanmu."

Setelah itu Kana keluar dari kamar. Sepeninggal Kana, Rania menatap langit-langit kamarnya. Perasaan sesak itu kembali hadir. Dadanya seakan dihimpit beban berat hingga untuk menarik napas pun rasanya sulit. Rasa panas kembali menyengat matanya. Dan tak butuh waktu lama air mata kembali mengalir membasahi pipi wanita itu.

Bodoh! Rania memaki dirinya sendiri.

Tidak seharusnya dia merasa sakit dan menangis seperti ini. Liam bukan miliknya. Dia tak punya hak untuk cemburu melihat pria itu memeluk Kana. Namun, Rania tidak bisa menahannya. Hatinya sakit. Dan air matanya mengalir begitu saja.

Rasa cemburu yang tidak sepantasnya dia rasakan ini ternyata sungguh menguras hati.

Dan Rania benci kepada dirinya yang lagi-lagi tidak bisa mengendalikan perasaan.

RANIAWhere stories live. Discover now