PERTANYAAN YANG MEMBINGUNGKAN (II)

496 56 6
                                    

Belum sampai lima menit Kana pergi, Rania mendengar suara mobil masuk ke pekarangan rumah. "Apa ada yang ketinggalan?" bisik Rania sambil membilas tangannya yang dipenuhi sabun. Wanita itu sedang mengeringkan tangan dengan kain lap ketika mendengar bunyi bel. Bukan Kana, pikirnya. Tidak mungkin kakaknya membunyikan bel untuk memasuki rumahnya sendiri.

Kalau bukan Kana, siapa yang datang sepagi ini?

Bel kembali berbunyi, membuat Rania tersadar. Lalu dia pun bergegas menuju pintu. Saat pintu itu terbuka alangkah terkejutnya Rania mendapati sosok yang berdiri di depannya.

"Kana baru saja pergi," kata Rania langsung kepada tamu yang berdiri di depannya. Tamu itu adalah Liam.

Liam tersenyum ramah seperti biasanya. Senyum yang membuat matanya menghilang dan membentuk cekungan di pipi kiri. Senyum yang disukai Rania.

"Aku tahu. Kana tadi bilang mau berangkat saat aku meneleponnya."

Oh iya, Rania ingat. Tadi pria itu menelepon dan kakaknya mengatakan akan segera berangkat kerja. Lalu mengapa pria ini datang kalau tahu Kana tidak ada?

Tiba-tiba tanpa Rania duga, Liam menempelkan punggung tangannya di dahi Rania. Sentuhan itu membuat tubuh Rania membeku. Bahkan tanpa sadar wanita itu menahan napas. Namun, sesuatu di dalam dadanya menjadi liar tak terkendali. Berdentum-dentum. Kencang, semakin kencang, dan semakin kencang lagi. Saking kencangnya Rania takut dadanya meledak.

"Sudah tidak panas," bisik Liam, dan masih dengan senyuman yang sama.

Rania yang akhirnya berhasil mengembalikan kesadarannya segera mundur untuk mengambil jarak. Tapi, karena mundur secara mendadak, Rania tidak menyadari daun pintu di belakangnya. Alhasil kepalanya kepentok. Rania mengaduh. Liam berusaha mendekat, tapi Rania mencegahnya.

"Aku tidak apa-apa." Rania mencoba menjelaskan keadaannya.

Namun, Liam terlihat ragu. Apalagi dia menyaksikan sendiri betapa keras kepala Rania membentur daun pintu.

"Sungguh, aku tidak apa-apa."

Akhirnya Liam mengangguk. "Boleh aku masuk?"

Tentu saja permintaan itu membuat Rania bingung. Masuk? Masuk kemana? Masuk ke hatiku? Tentu saja pertanyaan itu hanya diucapkan Rania dalam hati. Dia sendiri terlalu bingung dengan keadaan ini.

Bayangkan, Liam tahu Kana sudah pergi, tapi malah datang ke sini. Itu saja sudah membingungkan. Dan sekarang, pria itu malah meminta untuk diizinkan masuk. Permintaan yang benar-benar ambigu. Tidak hanya berdenyut karena membentur duan pintu, kini kepala Rania pun ruwet karena kedatangan dan sikap Liam yang ganjil.

"Kana sudah pergi," Rania kembali mengatakan hal yang sama. Astaga, Liam benar-benar membuatnya seperti orang tolol.

"Aku tahu," jawab Liam kalem. "Aku ke sini bukan untuk ketemu Kana."

"Lalu apa?"

"Nanti aku jelaskan. Boleh aku masuk?"

Rania menatap Liam, pria itu balas menatapnya. Melihat pantulan dirinya di dalam mata pria itu membuat Rania jengah sendiri. Dia pun buru-buru menunduk dan menepi, memberi Liam jalan.

Dan pria itu pun kembali tersenyum, membuat matanya menjadi garis tipis.

Saat Liam melewatinya, Rania memejamkan mata. Tenang-tenang-tenang, bisiknya berulang-ulang. Setelah keadaannya sudah terkendali, Rania pun menyusul Liam yang sudah lebih dulu masuk.

***

Naren keluar dari ruang dosen. Ia baru saja menemui dosen pembimbing untuk konsultasi masalah proposal skripsinya. Setelah menutup pintu kaca itu, Naren menatap ke depan, lalu menarik napas panjang, dan mengembuskannya. Perlahan, sudut bibir cowok itu tertarik.

RANIAWhere stories live. Discover now