Chapter 7: Once again

44.6K 3.8K 197
                                    




Gelisah menunggu kereta kuda yang tidak kunjung datang, tanpa sadar aku mondar- mandir tidak jelas. Beberapa menit setelah Duke Winterson meninggalkanku, aku memilih berdiri di dekat balkon istana. Pengawal yang berada di dekat sana pasti tengah membicarakanku di dalam hati.

"Dokter masih memeriksa Putra Mahkota, apakah ada dokter lain untuk merawat luka Duke Winterson?"

Tidak sengaja aku mendengar dua pelayan istana sedang berbicara satu sama lain. Gadis berambut cokelat dan pirang dengan gaun polos putih-hitam. Mereka berjalan dari sisi timur, munuju pintu barat istana yang tidak jauh dariku.

"Kita tunggu saja Dokter Morgan selesai," sahut si pirang.

"Tapi kau temui dulu Duke Winterson," bisikan terdengar lagi.

"Apa? Kau yang bertugas melayaninya."

"Kau ini—"

"Maaf, apa aku bisa menemui Duke Winterson?"
Aku akhirnya menawarkan diri dan menengahi mereka. Sepertinya mereka kesulitan mencari dokter atau tabin untuk memeriksa Duke Winterson di saat hampir dini hari begini. Lagipula ini salahku dan aku pun belum sempat berterima kasih pada Duke Winterson. Sejak sampai di istana kami hanya diam dan berpisah begitu saja. Aku sungguh merasa bersalah.

"Ah, Lady, Anda belum pulang?"

Terlihat senyum sumringah muncul di wajah kedua pelayan itu. Aku pun mengangguk pelan.

"Ma-mari saya antarkan," ujar si rambut cokelat kemudian.

Aku pun berjalan mengikutinya, menyusuri lorong, menuju sebuah ruangan di lantai dua istana. Aku tahu apa yang mereka takutkan ketika harus bertemu dengan Duke Winterson. Mereka tidak tahu saja kalau aku pernah mati di tangannya.

"Permisi, silakan Lady..."

Aku memasuki ruangan kedua di sisi kiri dengan hati-hati, seperti masuk dalam kandang singa. Gugup dan entah perasaan apa ini, semacam takut tapi... ah sudahlah. Apa lagi yang perlu ditakutkan? Kulihat pria bertopeng itu duduk dengan kepala menengadah ke atas sambil bersandar pada sofa panjang. Ketika melihatku dia agak kaget, lalu bersikap santai lagi. Aku heran dia bisa begitu tenangnya.

"Aku menunggu dokter, kenapa kau yang datang?" Sang Duke mengalihkan pandangan dan mulai angkat bicara.

Aku tahu maksudnya, dia pasti lelah dan ingin marah karena lama menunggu. Aku pun menghela nafas sebelum membuka mulut.

"Dokter masih memeriksa Yang Mulia Putra Mahkota, jadi saya yang akan membersihkan luka Anda," ucapku lugas, padahal dalam hati aku ragu akan membantunya.

"Cih. Terakhir kali kau mau membunuhku." Pria itu sempat menyeringai, meski hanya sebentar.

"Sekali lagi saya mohon maaf, bahkan saya belum sempat berterima kasih atas semua pertolongan Anda," lanjutku.

"Apa kau tahu cara membersihkan luka?" tanya pria berambut hitam itu kemudian dengan wajah songong.

Sontak aku mengangguk mantap, "Percayakan pada saya."

Jika bukan karena telah menyelamatkanku sudah kutinggal pria ini. Aku lalu mengambil alkohol dan kain putih untuk membalut luka yang telah disediakan. Untung saja aku pernah diajarkan Milli cara menangani luka dengan benar. Kuulangi semua ajaran Milli dalam pikiran sambil mendekati pria bertopeng itu.

"Siap?" tanyaku pelan.

Dia seolah bingung kenapa aku menanyakan kesiapannya. Ya, mungkin baginya tidak sakit, tapi luka dikenai minuman beralkohol pasti akan terasa perih sekali. Anehnya dia diam saja saat aku mengobatinya. Meringis pun tidak. Rasanya ingin sekali berteriak pada seseorang, tolong pecahkan keheningan ini, tapi aku harus tetap fokus. Sesekali aku menumpahkan alkohol di kakinya dan membuatnya menatap wajahku. Aku jadi gelagapan sendiri.

The Duke is a VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang