3. Perubahan

163 22 10
                                    

Kim Aristo sadar betul bahwa Fu yang sekarang bukan lagi Fu yang ia kenal lima tahun lalu. Perubahan yang terjadi pada Fu sudah Kim setelah satu tahun mereka berpacaran. Namun, dihadapan kekasihnya itu Kim memilih berpura-pura semua baik-baik saja. Terkadang, bersikap dan menganggap semua baik-baik saja lebih mudah dijalani menimbang menerima kenyataan.

"Gimana kerjaan?" Kim memulai pembicaraan saat mereka duduk di ruang santai di apartemen Fu. Di hadapan mereka televisi sedang menayangkan film komedi romantis dari saluran tv kabel langganan.

"Seperti biasa. Ada proyek baru. Bos minta aku yang membicarakannya dengan klien." Fu menjawab tanpa mengalihkan tatapan dari televisi.

Kim merangkul bahu Fu, dan menarik wanita itu agar menyandar pada dadanya. Pelan, Kim menghirup aroma sampo dari rambut ikal Fu, aroma stroberi yang Fu sukai. Lalu Kim mengecup puncak kepala Fu. Dalam dekapannya, Kim menyadari tubuh Fu menegang.

"Jangan terlalu capek, ya," pesan Kim.

Fu mengangguk.

Lalu keduanya kembali menonton tayangan di televisi. Namun, tayangan televisi lewat begitu saja tanpa mampu dinikmati keduanya. Sebab Kim dan Fu terlalu sibuk dengan pikiran yang berkejaran di kepala masing-masing.

"Akhir pekan ini kita jalan, yuk. Udah lama kita nggak makan di luar," ajak Kim memecah keheningan.

"Boleh," Fu menjawab singkat.

"Ada restoran yang mau kamu coba?"

Fu menimbang sesaat, lalu berkata, "Belum ada, tapi nanti aku coba cari referensi. Kalo nggak dapat kita ke tempat biasa aja."

"Boleh juga." Kim tersenyum, lalu mengacak rambut Fu. Fu merengut saat rambut ikal sebahunya kusut, tapi hanya sesaat. Selanjutnya wanita itu membalas senyuman Kim.

Senyuman itu ... senyuman yang pertama kali membuat Kim menyukai Fu. Senyuman tipis, tapi secerah matahari. Senyuman yang tak ingin Kim lepaskan.

*****

"Fu," suara berat Kim memanggil namanya membuat gerakan yang hendak menutup pintu mobil terhenti. Wanita itu menyelipkan rambutnya ke telinga dan bertanya lewat sorot mata.

Kim diam sesaat, kemudian tersenyum. "Selamat bekerja. Nanti siang kutelepon."

Fu balas tersenyum. "Kamu juga."

Kim mengentuk-ngetuk jarinya di setir mobil, terlihat gelisah. Pria itu seperti menimbang-nimbang sesuatu. Fu sadar dan memilih menunggu.

"Ya udah, aku pergi sekarang," putus Kim Akhirnya. "Love you," tambahnya kemudian.

"Hati-hati," pesan Fu. Hanya itu. Kim kecewa, tapi pria itu tetap tersenyum untuk menutupi kekecewaannya.

Sudah sejak lama Fu tidak pernah membalas setiap kali ia mengucapkan kata sakti itu. Alih-alih menjawab, Fu lebih sering membalasnya dengan anggukan atau senyuman tipis.

"Sampai jumpa." Setelah mengatakan itu, Kim melajukan mobilnya. Dari spion depan, Kim melihat sosok Fu yang menjauh. Fu masih berdiri di tempatnya, berdiri menatap mobil Kim pergi.

Kim menghela napas panjang. Lalu memilih fokus pada jalanan di hadapannya.

Tidak apa-apa, Kim berusaha menenangkan dirinya. Selama Fu masih berada di sisinya, selama Fu tetap bersedia menjadi kekasihnya, Kim tak perlu memikirkan perubahan sikap wanita itu. Lagipula semua di dunia ini pasti mengalami perubahan. Tidak ada yang tetap.

Jadi, perasaan Fu yang berubah kepadanya, tidak perlu mengusik Kim.

Ya, semua pasti baik-baik aja, bisik Kim sekali lagi, mengusir pikiran negatif itu menjauh dari dirinya.

*****

Kim baru hendak keluar makan siang saat dering notifikasi ponselnya berbunyi berkali-kali. Pesan Whatsapp dari Fu. Fu mengirimkan sebuah tautan. Pesan berikutnya Fu menuliskan sebuah nama restoran.

Zeya rekomendasikan tempat ini. Dia udah ke sana. Tempatnya bagus dan makanannya enak. Tulis Fu juga.

Kim meng-klik tautan itu yang membawanya ke akun Instagram sebuah restoran. Kim melihat-lihat beberapa postingan, juga repost berisi testimoni yang merasa puas dengan pelayanan dan makanan di restoran tersebut. Puas melihat-lihat, Kim menutup laman akun tersebut. Lalu menghubungi Fu. Pada dering kedua, Fu mengangkat telepon. Suara lembut Fu ketika mengucapkan salam, membuat sudut bibir Kim melekukkan senyuman.

"Aku udah lihat. Oke. Jadi akhir pekan ke sana?" tanya Kim.

Fu mengatakan iya. Fu juga bilang  Zeya sangat-sangat merekomendasikan restoran tersebut.

"Udah makan siang?" Kim tiba-tiba memgubah pembicaraan. Pria itu melirik jam, sudah jam 12 lewat.

Sudah, begitu jawab Fu. Saat ini ia makan siang bersama Zeya. Di rumah makan biasa. Dengan menu yang biasa juga. Fu mengeluh bosan, tapi Fu dan Zeya terlalu malas ke tempat lain. Takut kejar-kejaran waktu.

"Mau aku yang antarkan makanan?" tawar Kim. Kebetulan pekerjaannya sudah selesai. Nanti siang ia cukup longgar.

Fu diam sesaat, lalu menolaknya. Ia tidak ingin merepotkan Kim.

"Aku nggak pernah merasa repot," kata Kim.

Namun, tetap saja Fu menolak. Kim tidak perlu melakukan itu. Kim menghela napas kecewa. Padahal seandainya Fu menerima, setidaknya Kim punya kesempatan berjumpa dengan kekasihnya itu.

Setelah mengatakan ingin kembali ke kantor, Fu mengakhir sambungan. Kim menurunkan ponselnya, lalu meletakkan benda itu di atas meja. Tatapan pria itu lalu tertuju pada pigura foto yang ada di hadapannya. Foto dirinya bersama Fu saat berlibur ke Bali. Di sana mereka saling berangkulan dan tersenyum sangat lebar. Perasaan cinta terlihat begitu jelas dari tatapan keduanya.

Namun, tatapan itu perlahan berubah--lebih tepatnya tatapan Fu yang berubah. Tak ada lagi binar cinta di sana. Kenyataan itu menelusupkan rasa nyeri di dada Kim.

Perasaan Fu terasa makin jauh. Dan Kim takut dirinya tak mampu untuk membuat wanita itu tetap berada di sisinya.

Kim mengusap wajah, tiba-tiba merasa gusar sendiri. Tak ingin terlalu jauh larut dalam perasaan yang membuat hatinya sakit, Kim memutuskan untuk keluar mencari makan siang.

*****

Entah apa yang membuat Fu berubah, Kim tidak pernah tahu. Kim berusaha menjadi kekasih yang terbaik untuk Fu. Tetap memberikan kejutan manis agar wanita itu merasa istimewa. Selalu menyiadakan waktu diakhir pekan meski pekerjaannya menumpuk hanya demi Fu, agar kekasihnya itu tidak merasa terabaikan. Bahkan Kim selalu membalas atau menelepon Fu setiap kali ia ada waktu. Kim merasa ia sudah melakukan yang terbaik yang ia bisa.

Nyatanya, Fu tetap berubah. Cinta wanita itu surut. Dan kini yang tersisa hanyalah harapan. Kim berharap Fu tidak akan kemana-mana, tidak akan pergi meninggalkan dirinya.

Kim sanggup mencintai Fu, meski wanita itu tak bisa lagi membalas perasaannya.

Tentang Kita Yang Takut Berpisah Meski Tak Lagi CintaWhere stories live. Discover now