7. Pulang

71 10 0
                                    

"Besok aku pulang ke rumah," Fu memberitahu setelah hening yang cukup panjang. Saat itu mereka dalam perjalanan pulang dari rumah Mama Kim. Fu membiarkan kaca mobil terbuka, membuat angin menerpa wajah dan memainkan rambutnya.

"Mau kuantar? Sekalian aku ketemu Ibu." Kim menawarkan.

Fu menoleh sekilas dan tersenyum. Kemudian ia menggeleng. "Ada hal yang ingin kubicarakan dengan Ibu."

"Apa ini tentang permintaan Mama tadi?"

"Salah satunya."

Kim menghela napas. "Kalo kamu keberatan, permintaan Mama tadi nggak perlu kamu lakukan. Aku serius. Biar nanti aku yang jelasin ke Mama."

Sekali lagi Fu tersenyum. "Nggak apa-apa. Lagipula yang Mama bilang benar. Kita udah lama menjalin hubungan. Usia kita pun udah jauh dari cukup. Apa lagi yang harus ditunggu?"

"Tapi ...."

"Aku bicarakan ini dengan Ibu," potong Fu.

Lalu keduanya saling menatap. Ada rasa bersalah di mata Kim.

"Aku nggak apa-apa. Kamu nggak perlu merasa bersalah," kata Fu akhirnya.

Kim mengangguk. Namun, tetap saja rasa bersalah itu tak beranjak pergi. Sebab, dirinya ambil andil membuat Fu terjebak oleh keinginan mamanya.

*****

Fu tersentak ketika sensasi dingin menyengat pipi kirinya. Ternyata sekaleng cola dingin. Zeya yang menempelkannya ke pipi Fu.

"Mikirin apa? Dari tadi aku panggil nggak nyahut."

Bukannya menjawab, Fu malah mengucapkan terimakasih untuk minuman dinginnya. Kebetulan cuaca saat ini panas. Mesin pendingin yang berdengung nyaring di pojok ruangan sama sekali tak membantu.

"Ada masalah?" Zeya masih belum menyerah.

Fu melirik jam, masih ada satu jam sebelum istirahat siang.

"Yang jadi masalah kalo bos nangkap kita lagi ngobrol di jam kerja."

Zeya terkekeh pelan seraya mengibaskan tangan. "Tenang aja. Barusan bos keluar. Iya kan, Dit?"

Dita, sekretaris bos, yang entah kapan masuk ke ruangan ini, duduk tak jauh dari posisi Zeya dan Fu. Wanita bertubuh langsing dan berperas ayu itu kelihatan sedang kepedasan. "Bah-ru bah-lik nthar shoreh," ucapnya tak terlalu jelas.

"Kalo ada bos, mana berani Dita ngerujak ke sini," terang Zeya sambil menarik kursinya hingga duduk di sebelah Fu.

"Dari tadi aku perhatiin kamu banyak menung. Sini cerita sama Madam. Gratis. Nggak perlu biaya curhat."

"Ujung-ujungnya nanti minta traktir makan siang, pasti."

Zeya menyengir lebar. "Sepiring nasi padang pun. Nggak bakal bikin kamu bangkrut. Tunggu, aku ambil camilan dulu."

Fu menyandarkan punggungnya. Lalu ia memerhatikan Zeya membuka laci kerjanya yang menyimpan banyak makanan ringan. Ya, Zeya memang suka menimbun camilan di laci meja kerjanya. Zeya kembali mendekati Fu dengan beberapa kantong camilan, diantaranya keripik kentang, kacang kulit, dan roti isi cokelat.

"Yakin mau makan ini semua?" tanya Fu ngeri. Sungguh kadang ia tidak habis pikir dengan kebiasaan makan sahabatnya itu. Ajaibnya, Zeya tetap memiliki tumbuh langsung nan sintal meski punya kebiasaan ngemil.

Udah kodratnya tubuhku nggak bisa gemuk, begitu kata Zeya waktu Fu bertanya saat mereka baru kenal.

"Nah ayo mulai," kata Zeya seraya merobek bungkus keripik kentang.

Tentang Kita Yang Takut Berpisah Meski Tak Lagi CintaWhere stories live. Discover now