6. Kunjungan

98 13 0
                                    

Mobil Kim berhenti di depan pintu pagar minimalis. Pintu pagar itu tinggi dan dicat hitam. Tak lama pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok seorang pria paruh baya. Pak Adam, begitu Kim mengenalnya sejak dulu. Pak Adam adalah salah satu karyawan yang bekerja menjaga keamanan rumah orangtuanya. Selain Pak Adam ada Bi Isti, istri Pak Adam yang mengurus bagian dalam rumah. Pak Adam dan Bi Isti sudah berkerja sejak Kim masih kecil sehingga keduanya sudah dianggap sebagai keluarga.

"Bu Rima ada di kebun belakang, Kim," terang Pak Adam saat Kim turun dari mobil setelah memarkirkan mobil di garasi samping. Pak Adam memang memanggil Kim dengan namanya saja, itu atas permintaan Kim sendiri.

Fu menyusul turun. Lalu mendekat ke Pak Adam seraya menyerahkan bungkusan. "Untuk Bapak sama Bi Isti," kata Fu dengan senyum terulas di bibir.

Pak Adam menerimanya dengan wajah semringah. "Waaaah ... terimakasih Nak Fu."

Setelah berbincang-bimcang sesaat, Kim dan Fu masuk ke rumah orangtua Kim.

Rumah itu berukuran besar. Saat masuk mereka langsung melihat foto keluarga berukuran besar yang terpasang di dinding ruang tamu. Kedua orangtua Kim duduk di kanan-kiri, mengapit Kim yang berdiri di belakangnya. Papa dan Kim mengenakan jas formal sementara Mama terlihat anggun dalam balutan kebaya berwarna jingga.

Dari postur badan, Kim mirip dengan almarhum papanya. Dari kepribadian pria itu mengadopsi sifat mamanya. Dulu Fu pernah ketemu dengan papa Kim. Beliau sedikit kaku, berbeda dengan mama Kim yang hangat dan ramah.

Kim mengajak Fu ke kebun belakang. Di sana ada kebun mawar. Mama Kim sangat menyukai mawar. Jadi di hari-hari tuanya, Mama Kim lebih sering menghabiskan waktu dengan merawat tanaman-tanamannya itu.

Saat melewati ruang tengah, Kim dan Fu berpapasan dengan Bi Isti. Bi Isti menyapa ramah, dan seperti Pak Adam tadi, menyampaikan bahwa Mama Kim ada di kebun belakang. Bi Isti sedang bersih-bersih di ruang tersebut.

Kim dan Fu berlalu dari ruanh tengah, langsung menuju pintu yang membawa mereka ke kebun belakang. Kebun itu tidak luas, hanya berukuran 9 meter persegi yang sekelilingnya dipasang kawat. Mama Kim menyebut kebun itu dengan nama Rumah Mawar, ya sesuai dengan jenis bunga yang ditanam di tempat itu. Seperti Fu, mawar putih adalah bunga kesukaan Mama Kim.

"Ma," sapa Kim saat mereka masuk ke Rumah Mawar.

Seorang wanita bertubuh mungil menoleh. Melihat kehadiran Kim dan Fu, senyum wanita itu, yang tak lain adalah Mama Kim, mengembang. Mama Kim menghampiri putranya, lalu memeluk penuh kerinduan. Ia juga melakukan hal yang sama kepada Fu.

"Mama rindu banget!" akunya dengan mata berkaca-kaca.

Kim memperhatikan mamanya. Tubuh mama sedikit kurus dari terakhir kali ia lihat. Namun, keramahan dan keceriannya masih tetap sama.

"Udah makan?" Pertanyaan pertama yang selalu Mama tanyakan setiap kali mereka berkunjung.

"Belum. Ke sini mau minta makan," itu Kim yang menjawab. Berkelakar.

"Jadi bukan karena ingin ketemu Mama?" Mama pura-pura kecewa. Mau tak mau membuat Fu terkekeh pelan.

"Ya, sekalianlah." Ternyata Kim masih ingin bercanda. Ya seperti itulah. Kim memang paling dekat dengan mamanya dibanding papanya.

"Kami ke sini karena rindu sama Mama," kali ini Fu yang berbicara.

"Aduuuh ... anak siapa ini? Manis sekali. Nggak seperti yang itu, suka bikin kesal." Mama menggamit lengan Fu. Lalu mengajak Fu keluar dari Rumah Mawar. Kim mengikuti langkah keduanya dengan tertawa.

Sesampainya di rumah, Mama Kim meminta Bi Isti untuk menyiapkan makanan. Bi Isti mengangguk, lalu berlalu ke dapur. Mama mengajak Fu ke ruang keluarga.

"Kim kemarin bilang kamu lagi banyak kerjaan," Mama mulai pembicaraan saat mereka sudah duduk di sofa.

Ruanh keluarga itu berukuran luas. Selain diisi satu set sofa, juga ada lemari berisi buku-buku, bofet lengkap dengan tv dan streo-nya. Di beberapa sudut terdapat pohon palem yang ditanam dalam pot. Udara terasa sejuk karena pendingin ruangan. Jendela kaca yang lebar, dengan tirai yang tersingkap, membuat ruangan itu terang oleh berwarna jingga karena matahari terbenam.

"Iya, Ma. Ada proyek yang harus aku tangani."

Fu bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan perabotan seperti lemari, meja, kursi, tempat tidur, dan lain-lain. Saat ini ia diminta mengurus penyediaan barang untuk sebuah hotel yang dalam waktu dekat akan dibuka.

"Mama doakan semoga semua berjalan sukses."

Fu mengangguk dan mengucapkan terimakasih.

"Oh iya, apa Kim sudah bertanya?"

Mendadak Fu menoleh ke arah Kim. Kim yang tadi duduk menyimak, kini terlihat gelisah. Mama yang menyadari gerak-gerik keduanya seketika paham. Sepertinya Kim belum membahas hal yang kemarin ia tanyakan kepada Fu.

"Belum, Ma." Kim yang menjawab.

"Kalau begitu bair Mama yang tanya langsung ke Fu gimana?"

Kim tidak langsung menjawab. Ia malah menatap Fu, dan wanita itu membalasnya dengan tatapan bingung. Kim seketika merasa tidak enak hati. Padahal ia ingin berencana membicarakan topik sepenting ini berdua dulu dengan Fu. Tapi, Mama sepertinya sudah tidak sabar ingin membicarakan ini.

Kim memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu akhirnya mengangguk.

"Fu ...," Mama memanggil dengan suaranya yang lembut. Fu menoleh ke arah Mama.

"Kalian sudah lima tahun berhubungan," Mama memulai. "Usia kalian semakin bertambah. Mama pun semakin tua," lanjut Mama kemudian.

Fu sadar ke mana arah pembicaraan ini. Kata-kata Mama sudah sangat jelas. Mama ingin menanyakan kelanjutan hubungannya dengan Kim.

"Mama mau tanya, kapan Mama dan Kim bisa datang ke rumah orang tua Fu untuk melamar?"

Kim dari tadi memerhatikan Fu. Saat pertanyaan itu diajukan, Kim bisa melihat tubuh Fu menegang. Saat Mama memanggil nama Fu, wanita itu sedikit tersentak, lalu tersenyum ragu.

"Mama ingin melihat kalian segera menikah." Mama menyampaikan keinginannya dengan gamblang.

"Ma ...," Kim mencoba mengingatkan mamanya. Bagaimana pun saat ini Fu pasti merasa tidak nyaman.

"Maaf kalau Fu jadi tidak nyaman karena keinginan Mama ini." Mama meraih tangan Fu, lalu meremasnya. "Fu tidak perlu jawab sekarang. Tapi Mama minta Fu pikirkan keinginan Mama ini, ya."

Fu menatap mata Mama Kim. Ada kesungguhan di sana. Sungguh, dirinya sudah sangat sayang dengan Mama Kim. Mama Kim sudah Fu anggap sebagai mamanya sendiri. Fu tidak tega membuat mata yang penuh harapan itu terluka karena kecewa.

Namun, apakah dirinya benar-benar siap untuk menikah dalam waktu dekat?

Beruntung Bi Isti datang, mengabarkan bahwa makanan sudah siap di meja makan. Mama Kim pun teralihkan. Fu menarik napas lega.

"Ayo kita makan," ajak Mama Kim seraya berdiri.

Kim dan Fu mengangguk.

Selagi menuju meja makan, Kim menyajari langkah Fu dan berbisik, "Maaf Mama membuat kamu nggak nyaman."

Fu tersenyum tipis, lalu mengangguk. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan keinginan Mama. Apa yang dikatakan Mama Kim benar. Mereka sudah lama berhubungan. Usia mereka pun sudah pantas untuk menikah. Hanya saja, Fu yang belum siap membayangkan hidup dengan status sebagai istri Kim.

"Nanti aku kasih pengertian ke Mama," kata Kim kemudian.

Fu mengangguk. Kim mengusap puncak kepala Fu, tersenyum. Fu mengangkat wajah, lalu balas tersenyum, tak lupa mengucapkan terima kasih.

Di meja makan, demi menghindari topik pembicaraan yang membuat suasana canggung dan tak nyaman, Kim mengajak Mama bercerita mengenai tanaman-tanaman mawarnya.






Tentang Kita Yang Takut Berpisah Meski Tak Lagi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang