5. Kapan Melamar?

97 12 1
                                    

Sebenarnya sudah lama Kim berniat melamar Fu. Bahkan pria itu sudah menyiapkan cincin bertahta berlian untuk disematkan di jari manis wanita pujaannya tersebut. Namun, kesempatan yang belum datang. Juga keberaniaan. Dengan keadaan Fu, Kim takut lamaran itu malah menjadi beban bagi Fu. Fatalnya, wanita itu bisa menjauh darinya. Hal terakhir adalah yang paling tidak diinginkan Kim.

Kim menarik laci meja kerjanya. Di sana terdapat kotak mungil berwarna merah marun dengan hiasan pita putih dari kain satin. Ujung jari Kim menyentuh permukaan kotak tersebut, lalu mengambilnya. Kim menatap lama kotak tersebut sebelum membukanya. Di dalam terdapat sepasang cincin dengan tahta berlian. Ada ukiran inisial namanya dan Fu di sana. Kim tersenyum, miris.

Suara telepon membuat Kim menutup kotak itu dan mengembalikannya ke laci. Kim meronggoh saku jas mengambil ponselnya. Ada telepon dari mamanya.

Suara lembut mamanya menyambut ketika Kim mengangkat panggilan.

"Alhamdulillah sehat, Ma. Kerjaan aja yang lagi banyak," jawab Kim ketika mamanya bertanya kabar. "Mama sehat?"

Mama tidak langsung menjawab membuat Kim khawatir. Memang, mamanya ada riwayat sakit jantung. Kim sempat menduga kondisi mama makin parah. Namun, syukurlah dugaannya salah. Mama mengabarkan kondisinya baik-baik saja. Kim menghela napas lega yang tanpa sadar sejak tadi di tahannya.

"Kim khawatir mama kenapa-napa."

Tawa renyah Mama terdengar di ujung telepon. Lalu mama memanggil nama putra semata wayangnya itu.

"Ya, mama?" tanya Kim.

Fu apa kabar? Ternyata Mama bertanya kabar Fu.

"Fu baik, Ma. Tapi akhir-akhir ini kerjaan Fu juga lagi banyak."

Begitu, ya, Mama merespon. Terdengar kecewa. Kim terusik dengan hal tersebut. Mama sepertinya menyimpan sesuatu.

"Kenapa, Ma?"

Mama rindu kalian. Sudah lama nggak main ke sini, kan? Akhirnya Mama mengatakannya.

Sudah dua minggu lebih Kim tidak pulang ke rumah orangtuanya. Sementara Fu terakhir berkunjung dua bulan lalu. Wajar saja Mama merindukan dirinya dan Fu. Terlebih lagi hubungan Mama dan Fu sudah sangat dekat. Mama sudah menganggap Fu sebagai putrinya sendiri.

"Nanti Kim coba tanya Fu dulu, ya, Ma. Semoga dalam waktu dekat kami bisa pulang ke rumah."

Kim pikir setelah memberikan jawaban itu Mama akan menutup telepon, ternyata tidak. Mama seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi terdengar ragu-ragu.

"Ma, ada lagi?"

Kim mendengar Mama tersentak lalu menghela napas. Dugaan Kim benar. Namun, Kim tidak pernah menduga, siang ini mama akan mengajukan pertanyaan itu.

Kim kapan kamu akan melamar Fu?

***

Malam itu, lewat jam sembilan, Kim duduk di balkon apartemennya. Lampu sengaja Kim padamkan. Kalau sudah menyendiri dalam kegelapan, itu berarti Kim sedang merenung. Ya, Kim memang punya kebiasaan merunung di balkon apartemennya dalam kegelapan.

Namun, malam itu langit cerah bermandikan bintang gemintang yang seolah berlomba memancarkan cahaya paling terang. Bulan terlihat penuh dan bulat seperti kuning telur. Tak hanya itu, Apartemen Kim yang berada di lantai 8 membuatnya bisa melihat cahaya lampu dari gedung-gedung perkotaan. Pemandangan yang selalu berhasil membuat perasaan Kim yang kacau berangsung membaik.

Kim mengambil kaleng minuman bersoda di sampingnya, lalu meneguknya. Lamat-lamat ia mendengar suara Charlie Put yang berasal dari DVD player yang diputar di dalam kamarnya. Kim menghela napas. Pertanyaan Mama tadi siang masih mengusiknya.

Kapan kamu akan melamar Fu?

Sebenarnya bisa saja Kim menjawab ia bisa melamar Fu kapan pun. Tidak ada masalah. Kim sudah yakin dengan Fu. Kim merasa wanita itu adalah pendamping terbaik yang ia inginkan. Namun, masalahnya ada di Fu. Apakah wanita itu siap?

Selama ini Fu sama sekali tidak pernah menyinggung soal lamaran. Wanita itu tidak pernah bertanya, apalagi mendesak. Fu seakan menikmati hubungan mereka yang seperti ini. Terlebih lagi Kim sadar betul perasaan Fu saat ini.

Tapi mau sampai kapan kamu seperti ini?

Pertanyaan itu muncul di benak Kim. Kim tercenung. Ya, sampai kapan mereka mau terus menjalin hubungan seperti sekarang? Padahal usianya terus bertambah. Mama juga sudah ingin melihatnya menikah dan menimang cucu.

Tidak ada salahnya ia mencoba untuk membicarakan hal ini ke Fu, kan?

Kim memejamkan mata. Angin berhembus, memainkan rambutnya yang mulai panjang menyentuh kerah baju. Kim menyugar rambutnya dan menghela napas panjang. Ternyata perkara ini tidaklah mudah.

Namun, ia teringat akan janjinya kepada Mama. Kim pun mengeluarkan ponsel, lalu menekan angka 8, panggilan cepat untuk Fu.

Panggilan diangkat Fu. Wanita itu mengucapkan salam dengan suara sedikit serak. Kim melirik jam, sudah hampir jam sepuluh. Sepertinya tadi Fu sudah tidur. Kim merasa tidak enak sudah membangunkan kekasihnya itu.

"Udah tidur?" tanya Kim setelah membalas salam Fu.

Ya, jawab Fu. Ada apa? tanyanya kemudian.

"Tadi mama telepon. Nanyain kamu. Kapan mau main ke rumah."

Besok sore gimana? Pulang aku kerja? saran Fu.

Kim mengangguk setuju. Namun saat sadar Fu tidak bisa melihatnya Kim bersuara, "Aku jemput besok sore, ya."

Ya, sahut Fu.

"Fu ..." panggil Kim.

Kekasihnya itu menyahut. Kim mengigit ujung lidahnya, seketika merasa ragu. Padahal tadi ia bermaksud menyinggung masalah kelanjutan hubungan mereka, tapi haruskah ia menanyakan mengenai lamaran itu sekarang?

Akhirnya Kim menggeleng. Sekarang bukan waktu yang tepat. Mungkin ia bisa membahas perihal ini dalam perjalanan pulang setelah kunjungan ke rumah orangtuanya.

"Love you. Aku kangen," kata Kim akhirnya.

Namun, diujung telepon Fu terdiam. Hanya suara napasnya yang terdengar. Sementara Kim kembali masih menunggu, dengan perasaan kecewa yang mulai melumat hatinya.

Sudah lama ia tidak mendengar Fu mengatakan cinta kepadanya. Entah kenapa untuk malam ini Kim ingin mendengarnya.

"Fu, i love you." Kim mengulang. Berharap kali ini Fu tanggap dan membalasnya.

Namun, perasaan Kim meledak seperti balon yang meletus. Sia-sia. Fu tak menyahut.

Malam itu, Kim menutup sambungan telepon dengan perasaan luar biasa kecewa.

*****

Fu, I love you, ucap Kim diujung telepon.

Fu meremas ponselnya. Tanpa sadar tangannya mulai berkeringat. Fu memejamkan mata, merasa terdesak. Satu sisi ia tidak ingin membuat Kim kecewa. Namun di sisi lain, Fu tak sanggup mengatakan kebohongan. Sekarang, ia tidak bisa lagi mengucapkan kata cinta kepada Kim. Tidak, saat Fu sadar perasaan itu sudah lama surut.

Fu menarik napas, lalu membuangnya perlahan-lahan. Ia menggigit bibir, tak tahu harus mengatakan apa. Hingga akhirnya Kim bersuara kembali.

Aku tutup teleponnya, ya, Sayang. Maaf udah ganggu waktu istirahat kamu.

Nada bicara Kim membuat dada Fu tersentak. Kim terdengar sangat kecewa. Fu baru saja mau bersuara, tapi sambungan sudah terputus.

Di atas ranjangnya, Fu terpaku seraya menatap ponsel di tangannya. 

Tentang Kita Yang Takut Berpisah Meski Tak Lagi CintaWhere stories live. Discover now