7

50 14 74
                                    

"Kau tak ingin memikirkanku?"

"Tidak dalam keadaan hampir mati begi—" Aku menoleh kebelakang dan jantungku mendapatkan senamnya. Wajahku membentur benda keras dan lembek (itu pendefinisian terburuk yang pernah kulakukan).

'Sesuatu' itu menjauhkan diri dariku lalu dari sekian banyak kosa kata yang bisa saja dirangkai jadi seindah janji-janji pimpinan akademi, dia memilih berucap, "Ugh, wajahmu berminyak."

Oke, dia orang, bukan benda ataupun bubur lembek yang biasanya dihidangkan di kantin di waktu sarapan. Aku membalik badan menghadapnya dengan susah payah di antara impitan dinding dan ring ditambah aku yang dalam posisi duduk. Dalam diam kupindai dia, badan tinggi berlapis hoodie marun, surai merah hampir sewarna pakaiannya, dan senyum jenaka yang tidak cocok dipadukan dengan mata tajamnya.

Dia adalah orang yang sama yang mengacaukan makan malamku dan Orion tempo hari. Tubuh cekingnya agak tertutup oleh pakaian yang melebihi ukuran seharusnya, tapi tampangnya masih semenyeramkan malam itu.

"Apa yang kau lakukan di sini?!" sentakku sambil mengusap wajah dengan lengan baju. Bohong kalau aku tidak tersinggung dengan pengakuannya.

"Kau terlihat tidak senang denganku." Dia bersila di depanku.

"Memang," sahutku dengan cepat.

Dia memasang wajah kecewa. Aku tidak sedungu itu untuk tahu kalau itu dibuat-buat, dia tidak pandai mengatur mimik wajah.

"Kau terlalu jujur, dik." Seakan belum kapok dengan lelehan minyak di wajahku, dia mendekatkan mukanya lagi ke arahku. "Seseorang khawatir kau bakal terpenyek-penyek oleh pelatihmu, jadi dia menyuruhku memastikan itu tidak terjadi dan menugaskanku buat mengantarmu sampai selamat ke kamar."

"Siapa?" tanyaku tidak tertarik.

"Orion." Aku tertarik! Dan kurasa manusia berambut merah itu melihat jelas sikap antusiasku. Aku juga tidak pandai mengatur mimik wajah, jangan hujat aku.

"Cih! Kau lebih suka Orion daripada aku 'kan?" Dia kembali membentangkan jarak di antara kami dan membuang wajah dariku. "Sebuah peraturan tidak tertulis tentang, 'kau akan baik-baik saja selama kau good looking' masih berlaku sampai sekarang, ternyata. Aku bahkan skeptis kau masih ingat namaku."

"Barusan itu, kau mengakui kalau kau itu jelek?" Dia terlihat tidak senang dengan apa yang kukatakan.

"Kau membuatku ingin melemparkanmu ke pelatih dan teman sekelompokmu," ancamnya dengan nada rendah. "Aku bakal dengan senang hati bertepuk tangan paling keras saat mereka menjotos mulutmu yang banyak omong—"

"Kau juga banyak omong—ups!" Percayalah, aku mengatakan itu dengan refleks tanpa maksud bersarkas. Tanganku juga tanpa perlu berdiskusi dengan otak, langsung menutup mulut dan menarik retsleting imajiner di sana. Aku harus menyalahkan mulut tak punya remku.

"Aku heran kenapa Orion mau merekrutmu," frustasinya sambil menyugar rambut. "Sekitar lima belas menit lagi, bel selesai latihan bakal berbunyi, dan yang perlu kulakukan cuma mengantarmu ke kamar. Urusan kita selesai sampai di sana. Oke?"

"Oke ...?" jawabku ragu.

Dia berdecak, mulai muak berbicara denganku, dan aku pun benaran jadi pendiam. Kami harus menunggu 15 menit untuk mengakhiri pertemuan singkat ini, dan kami akan berpura-pura saling tidak mengenal lagi ke depannya. Iya, 'kan?

Sayangnya tidak semudah itu.

"Memang, siapa namamu? Apa kau pernah mengatakan tentang itu?" Mulutku mulai beraksi lagi.

Dia tidak menjawab melainkan langsung menarikku keluar dari tempat sempit itu dan mengajakku ke tempat yang lebih sempit lagi. Kerumunan pertarungan 

Who Am I? Invisible ScreenWhere stories live. Discover now