8

34 13 56
                                    

Di tengah ruangan sana, kulihat Orion sedang berhadapan dengan bocah perempuan yang tingginya bahkan cuma sedadanya, entah Orion yang terlalu tinggi atau si bocah yang terlalu pendek. Dia berbicara dengan segala karismanya, sayang aku tak bisa mendengarnya. Lama menatapi mereka yang berbicara akrab, aku dan kaki kecilku akhirnya menyerah dan memilih untuk kembali duduk, membiarkan cowok rambut merah di sampingku melanjutkan acara menguntitnya. Dia kuat sekali berlutut dalam waktu yang lama.

"Hei!" Kupanggil dia sambil menampar bokongnya. Dia berjengit menjauh tapi aku ikut bergeser mendekatinya lagi, sumpah serapahnya mengalun pelan. Mencoba mengalahkan bisikan berisi kata kotornya, aku berucap, "Sebelum kita bermain, aku perlu tahu namamu. Kita juga belum memutuskan mau ma-"

"Ren," sambutnya tanpa bergerak dari posisinya.

"Apa?" tanyaku.

"Namaku." Dia menoleh sebentar untuk melihat wajah dunguku.

Aku menganguk-angguk dengan wajah puas, lelah mendeskripsikannya dengan rambut merah. "Oke, Ren. Kita main apa?" tanyaku lagi.

"Petak umpet." Dia menjetikkan tangan dengan lentik.

"Kau bercanda?!" Dia tertawa pelan.

"Kita main pentak umpet bersama Orion, ayo ikuti dia. Yang ketahuan lebih dulu akan dapat hukuman," jelasnya. Dia menunjuk si bocah yang entah mengapa, tiba-tiba jatuh terduduk. Aku curiga Orion menyerangnya.

"Apa yang terjadi?" tanyaku kembali berlutut, dan menyangga tangan ke pembatas ring.

"Sebuah prosedur ... mungkin?" Dia sendiri tampak ragu saat menjawabnya. Kakiku makin ingin mengambil langkah untuk menerjang Orion saat kulihat dia menggendong tubuh lemas si bocah lalu berjalan, mengikuti arus orang-orang yang hendak keluar dari tempat ini. Dalam keadaan seramai ini, tidak ada yang mencurigai tindakan penculikannya.

"Apa yang akan terjadi?" Aku kembali bertanya, mataku liar menatapi tubuh Orion di antara lautan manusia, mencoba untuk tak kehilangan dia—jejaknya.

"Dia akan membawanya ke kamarnya." Ren turut menarikku lagi. Sebisa mungkin untuk tak ketahuan cowok berambut panjang itu, aku heran dengan diriku sendiri saat kudapati diriku rela tergencet di sudut lift dengan mata tak lepas dari punggung Orion. Kepulan asap rokok yang entah dari siapa, turut membuatku sesak nafas.

Bau kecut keringat ikut  menyengat hidungku, apalagi saat Ren akhirnya memutuskan buat berdiri di depanku, melindungiku dengan tangan membekap mulutku yang hampir saja menyuarakan serapah.

Setelah mendapat sedikit kepercayaannya untuk melepas tangan berkeringat miliknya, aku berjinjit untuk mendekatkan mulut ke telinganya. "Kau tahu apa yang kupikirkan sekarang?" bisikku pelan.

Dia menaikkan alis lalu melempar tatapan memang-aku-perduli miliknya. Aku memukulkan kepalan tanganku ke dadanya, menggantikan wajah menyebalkannya dengan raut kesakitan yang dibuat-buat. Aku meralat pemikiranku tentang dia yang tidak pandai mengendalikan mimik muka, dia malah pandai mengejek dengan ekspresi.

Tanganku meraih bahunya dan kembali berjinjit dan berbisik, "Aku berfikir untuk meninggalkan permainan konyol ini lalu mengadu ke Orion kalau kau tidak becus menjalankan tugas."

"Coba saja." Dia menempelkan dahinya ke dahiku. Matanya tajam menyorotiku. "Hidupmu tak akan tenang setelah kau melakukan itu."

"Memang kapan hidupku pernah tenang?" Aku ikut menekankan wajah, tapi dia langsung menjauh lalu kembali menggencetku dengan tubuh kerempengnya. Itu cukup membuatku sesak nafas dan merengek minta dilepaskan.

"Aku bukan golongan cowok yang tidak bisa berbuat kasar kepada cewek." Dia berkata cuek.

"Aku sudah tahu. Itu tercermin jelas dari wajahmu," selorohku sambil memiringkan kepala untuk menghindari aroma tidak sedap darinya. Dia seperti sengaja menggapit kepalaku di ketiaknya. Andai bisa, aku ingin menarik hidungnya agar memanjang menuju ketiaknya sendiri, dia perlu tahu penderitaanku. "Betul-betul tipikal orang biadab. Mau membunuhku, eh?!"

Who Am I? Invisible ScreenWhere stories live. Discover now