Chapter 2 : Ep. 1 - Fictional story has turned to Reality, I

956 69 9
                                    

Walau jawabannya sudah jelas bahwa tidak ada yang tahu mengenai eksistensi buku ini, masih ada satu toko buku yang belum aku kunjungi dan aku berencana untuk pergi hari ini.

Hanya saja, siapa yang sebenarnya membuat mahakarya seindah ini?

Mahakarya yang tidak pernah aku damba-dambakan pada berbagai macam buku yang telah ku baca, namun buku ini, hanya dengan sekali membacanya berhasil membuatku jatuh cinta.

Lelaki itu bernama Davine Levinth dan usianya kini menyentuh dua puluh lima tahun, pekerjaannya sebagai manager di sebuah perusahaan hiburan yang sekarang cukup dikenal banyak orang.

Perusahaan hiburan yang menghasilkan banyak idola dan artis ternama saat ini.

Sebelum itu, hari ini adalah hari yang ke pertama kalinya bagi Davine untuk mengambil cuti. Meski dia seorang kutu buku, dia sangat giat dalam pekerjaannya dan belum pernah satu kali pun dia mengambil jatah liburnya.

Mau libur ataupun tidak, sebenarnya dirinya itu sama. Dia selalu menyempatkan diri setelah bekerja ke tempat dimana buku berada.

Hal itu ia lakukan bagaikan rutinitas sehari-hari, hanya karena ia sangat mencintai buku.

Cuaca sejak pagi hari ini memang kurang mendukung untuk bepergian keluar rumah, rintik-rintik air terus membasahi permukaan tanah dan mengakibatkan meluapnya air di beberapa daerah. Untungnya, daerah tempat tinggalnya selalu aman dari bencana seperti itu.

Toko buku yang akan ia kunjungi hari ini sangatlah dekat dari rumah, sayangnya toko itu sering tutup secara mendadak dan tanpa alasan yang spesifik.

Davine tahu kalau hari ini hujannya sangat awet sejak pagi, tetapi dia tetap pergi meskipun tahu fakta tersebut.

Kakaknya membawa payung hitam kesayangannya hari ini untuk pergi bekerja, jadi mau tak mau dia harus pergi tanpa payung.

Sebuah jas hujan ada di lemari, akan tetapi ukurannya cukup untuk anak yang duduk di bangku SD kelas tiga. Itu karena, jas hujan yang ada di lemari adalah milik Davine ketika ia berada di kelas tiga SD.

Ia berlari keluar rumah menerobos awetnya rintikan air yang turun.

Rambut hitam miliknya menjadi agak basah, tak hanya rambutnya saja namun pakaiannya juga, akan tetapi ia terus berlari menerobos demi toko buku yang sudah ditetapkan sejak minggu lalu untuk ia kunjungi.

Jaraknya tidak sampai satu kilometer, hanya berkisar dua ratus meter saja jika melihatnya dari Maps.

Ia berlari selincah macan dan sekarang ia sudah berdiri di depan toko buku itu, untung saja hari ini mereka buka.

Dekorasi toko buku itu sangatlah tua, mungkin pemiliknya lebih suka style kuno dibandingkan style modern seperti sekarang. 

Lelaki berusia dua puluh lima tahun memasuki toko buku yang sudah lama ia incar, aroma buku menyambutnya dengan sangat baik dan terdapat banyak barang antik yang diletakkan disana. 

Seorang lelaki yang lebih muda dan pendek dari Davine menyambutnya dengan ramah.

Karyawan toko itu nampaknya kesulitan membawa tiga kardus sekaligus pada lengannya yang terlihat lebih mungil dariku, jadi aku memberikannya sedikit bantuan.

"Ah pelanggan, maaf karena aku jadi merepotkanmu."

Aku membawa kardus itu dilenganku dan mengikutinya dari belakang, kemudian meletakkannya ditempat yang sama.

"Tidak apa-apa." 

"Ada keperluan apa kamu datang kemari?"

Davine sedikit ragu karena toko buku yang ia kunjungi kera menjawab kalau mereka tidak tahu mengenai eksistensi buku yang ia baca itu. Tetapi, dia sangat mendambakannya dan berharap dapat bertemu dengan sang penulis secara langsung.

Membutuhkan waktu beberapa detik untuknya supaya membuka mulut.

"Apa kamu tahu buku berjudul 'Survival Destruction' ?"

"Survival Destruction? Maaf sekali pelanggan, kami tidak pernah mendapat buku dengan judul seperti itu." Jawabnya dengan rasa sedikit bersalah.

"Begitu ya, kalau begitu maaf sudah membuang waktumu."

"Kalau begitu, terimakasih." Pamitku dengan sopan padanya.

Davine keluar dari toko buku yang tampilan luarnya terlihat aneh itu, ia menengadah menatapi langit yang berwarna abu- hujan sudah berhenti.

Perasaannya agak kecewa, karena tadi adalah satu-satunya toko buku yang ia harapkan.

"Rasanya jadi sia-sia mengambil cuti."

Ia berjalan dengan perasaan yang porak poranda, tetapi mau bagaimana lagi? Dia juga tidak bisa menyalahi karyawan toko karena tidak ada informasi apapun mengenai buku yang ia baca.

Mungkin, itu memang sebuah produk gagal yang sudah diciptakan dalam bentuk buku, jadinya sulit untuk mengetahui siapa penulis aslinya.

Dan jika itu benar, kemungkinan besar kalau 'Survival Destruction' tidak diterbitkan oleh penerbit melainkan penulis asli berencana untuk melaluka self publish.

Entah apa yang membuat penulis berhenti, pastinya ada alasan tersendiri dibalik itu.

Untuk saat ini, ia hanya bisa bersabar dan berharap bahwa suatu hari nanti dapat bertemu dengan penulis asli dari buku itu.

Tidak terasa ia sudah berjalan lebih dari seratus meter.

Ia mendengar suara sirene mobil polisi, ia yang tadinya berjalan sambil menatap tanah kini pandangannya menuju ke depan. 

Suasana di depan sangatlah ramai, padahal belum lama ia pergi ke toko buku.

"Apa yang terjadi?"

Aku terus berjalan mendekati keramaian, sulit sekali untuk melihat keadaan karena banyaknya orang yang berkumpul.

Tetapi, diriku terus menerobos keramaian. 

Ku lihat disana terdapat garis kuning polisi.

Ketika aku menengadah, aku terkejut sepenuhnya.

Mataku terbelalak lebar ketika aku sampai di garis depan.

Diriku mengucek-ucek mata beberapa kali dan menggeleng-gelengkan kepala beberapa saat.

Bahkan aku menampar diriku sendiri.

Sakit sekali.

Ini adalah kenyataan, bukan mimpi.

Ku lihat sebuah lubang hitam yang ukurannya sedang, kini aku merasa deja vu.

Situasi ini bukan sebuah halusinasi, ini murni sebuah kenyataan yang sedang aku hadapi dan ini juga bukan mimpi.

Tubuhku menggigil seketika mengingat urutan kejadian.

'Survival Destruction' telah menjadi sebuah kenyataan.

World Means SurvivalWhere stories live. Discover now