Mr. President

3.7K 232 5
                                    

Aku berdecak kesal melihat beberapa pasukan penjaga yang melihatku dengan tampang curiga. Ya, saat ini aku sedang diamankan oleh para pasukan itu ke sebuah ruangan yang aku tak tahu di mana. Lukaku telah ditangani oleh seorang dokter dan luka itu sudah dibalut rapi. Tapi, berkat para penjaga yang mengesalkan itu, perbannya mulai rusak.

"Sampai kapan kita menunggu?" tanyaku.

"Diamlah!" jawab salah satu di antara mereka dengan galak.

"Hei! Aku bicara baik-baik! Kenapa kau membentakku?!" balasku tak kalah galak.

"Kau pengganggu, diam saja! Tidak pantas berbicara seperti itu!" tegasnya.

"Ohoho... siapa yang mulai duluan, hah?! Lagipula aku ini rakyat biasa dan masih memiliki hak untuk bertanya! Memangnya kau pikir punya mulut itu untuk apa?!"

Penjaga itu sudah siap melayangkan pukulan padaku dan aku sudah sangat siap menghindarinya, tetapi kedatangan seseorang membuat kami berhenti. Tidak, sebenarnya aku tidak berhenti, tapi ikatan di tanganku yang memaksa melakukannya. Aku sempat heran ketika penjaga itu tiba-tiba menunduk, dan tatapanku kini mulai jatuh pada laki-laki yang berdiri di belakangku.

"Ada apa ini?" tanyanya dengan suara dalam yang mengesankan.

Laki-laki itu tinggi, dengan rahang kokoh dan sedikit jambang. Mata birunya tegas dan kuat. Wajahnya tampan, kuakui itu. Ia mengenakan sebuah topi dan pakaian militer berwarna hitam. Di pundaknya tersematkan 5 bintang berjejer. Sementara dadanya penuh dengan beberapa tanda yang menunjukkan betapa tinggi pangkatnya.

"P...presiden..." ucap penjaga itu dengan takut.

Aku langsung membalikkan wajahku dan kembali memastikan siapa orang ini. Presiden dia bilang? Sejujurnya, aku tak pernah tahu bagaimana wajah presiden yang baru karena aku tidak begitu tertarik dengan hal itu. Kini aku benar-benar merasa bodoh akan hal itu. Kenapa tidak aku cari tahu dari dulu!

Wajahku tertunduk, ada rasa aneh di dadaku. Presiden itu, ada apa dengan matanya? Aku bisa merasakan ada sesuatu yang menusuk jantungku seketika, dari belakang. Dan aku tahu bahwa itulah tatapan sang presiden.

"Apa kau yang mengirimkan bocah itu? Ilish?" tanyanya padaku, jantungku berdetak hebat ketika mendengar suaranya yang berat.

"Ti...tidak... anak itu berlari sendiri ke pawai. Dan namanya Irish," jawabku.

"Begitu, tapi kau mengenalnya dan tak mencoba menghentikannya?"

"Tentu saja aku kenal, dia keponakanku. Para penjaga saja tak bisa menghentikannya, apalagi aku?"

Aku bisa mendengar laki-laki itu tertawa ringan di belakangku. Aku tidak berani membalikkan badanku. Sama sekali tidak berani!

"Siapa namamu?" tanyanya lagi.

"A...Airen,"

"Lengkap?" Langkah kakinya terdengar mendekat.

"A...Airen Steffani V...Valvoshki," jawabku dengan sedikit terbata.

Sang presiden berhenti, aku tak mendengar langkahnya berjalan lagi. Ruangan ini hening seketika, bahkan tak satu helaan nafaspun terdengar.

"Kalian keluarlah, aku bisa mengatasinya sendiri," ucap presiden.

"Baik," kata mereka, para penjaga itu

Langkah itu kembali terdengar, dan pria yang awalnya berada di belakangku sudah berada persis di hadapanku. Tatapannya tajam menusuk, membuatku begitu risih ditatapnya.

"Siapa tadi namamu?"

Aku menghela nafas panjang. Apa aku perlu mengulanginya lagi? Mengesalkan. "Airen Steffani Valvoshki,"

Mr. PresidentWhere stories live. Discover now