Teror (2)

2.9K 247 16
                                    

Hai semua~ I'm back :D

Ada yang nunggu nggak nih? Yaudah lah, langsung aja baca.. Oh ya, sebelumnya makasih buat semua vote dan komentarnya :')

______________________________________________


Airen

Presiden tak melepaskan genggamannya, bahkan sampai satu setengah jam perjalanan yang kami lakukan dengan menggunakan helikopter. Ia tetap diam, pandangannya lurus dan terkesan memikirkan sesuatu. Clara juga memilih diam. Hanya suara mesin helikopter yang mewarnai perjalanan kali ini.

Presiden turun dengan tetap menggenggam tanganku, begitu erat seakan tak ingin melepaskannya.

Tak ada satupun orang yang pernah menyangka kehadiran orang nomor 1 itu. Kebanyakan dari mereka tertegun dan tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin karena pandangan mata presiden yang begitu tajam hingga lalat pun tak berani lewat di hadapannya.

"Saya butuh bertemu pimpinan kepolisian," kata presiden dengan nada yang sangat tegas.

"B...baik," orang yang menyambut kami segera mengiyakan dengan patuh.

Orang manapun yang menerima perintahnya, langsung menciut karena ucapan dan tatapannya yang sangat mengerikan. Aku akui itu. Terkadang, seberapa benci aku pada dirinya, aku tak bisa memungkiri bahwa sebagian diriku mendapat tekanan besar darinya.

Tak berapa lama, sosok yang dicari pun datang. Lengkap dengan setelan khas polisi berwarna abu-abu. Laki-laki itu berjalan mendekat kemudian melepaskan topinya dan berjabat tangan dengan presiden. Ada sedikit kegentaran dari matanya meski sikap tubuhnya berusaha tenang.

"Selamat datang Bapak Presiden, saya tidak tahu Anda akan datang. Maaf apabi..."

"Saya tidak ingin berbasa-basi," potong presiden tegas. "Cepat lakukan sesuai instruksi saya," katanya.

Laki-laki tadi meneguk ludah. "Apa yang..."

"Tolong kirimkan orang-orang terbaik Anda untuk menjinakkan bom dan kerahkan pasukan untuk mengevakuasi warga di sekitar bendungan. Ikuti perintah saya, tanpa bantahan, dan tanpa pertanyaan, mengerti?" potongnya lagi.

Laki-laki itu mengangguk patuh.

"Kalau begitu lakukan sekarang! Saya tunggu petugas penjinak bom di bendungan," Presiden mengeratkan genggamannya pada tanganku, memaksaku merasakan kegetiran hatinya.

"Clara, sebaiknya kau bantu para polisi mengevakuasi warga," perintah presiden.

"Baik," jawabnya patuh. Clara menepuk pundakku beberapa kali sebelum akhirnya berlari mengikuti laki-laki yang merupakan pimpinan kepolisian tadi.

"Ayo." Presiden kembali menarikku, membawaku bersamanya dalam perjalanan menuju bendungan. Ekspresi wajahnya mengeras, dan menimbulkan aura gelap yang cukup mengerikan. Tak heran, karena bendungan itu adalah salah satu aset Aidelore. Lebih dari 50% tenaga listrik seluruh Aidelore didapat dari PLTA yang ada di sana. Mungkin itulah kenapa banyak negara dulu memperebutkan Kota Airen.

"Akhirnya kalian datang juga," ucap Kak Aiden ketika kami menemuinya di depan gerbang.

"Di mana bomnya?" tanya presiden tanpa basa-basi.

Kak Aiden terdiam sejenak, ada rasa tertekan yang terukir di matanya. Ia sedikit menunduk sebelum akhirnya mengantar kami ke lokasi tanpa berkata apapun.

Cukup jauh dari gerbang utama, atau tepatnya di sekitar bendungan. Kak Aiden menunjukkan bom-bom itu.

"Totalnya 5, tertanam sangat rapi di sepanjang tempat ini," jelas Kak Aiden.

Mr. PresidentWhere stories live. Discover now