Teror

3.2K 272 9
                                    

Mau ngucapin banyak terima kasih buat penulis 'bayangan' yang udah ngasih banyak banget masukan dan inspirasi buat cerita ini. Sayangnya dia nggak mau saya sebut namanya di sini. Katanya disebutinnya nanti aja, biar penasaran semua *kalo ada yang penasaran*.

Dan terima kasih buat semua vote serta komentarnya :)

————————————————————————————————————————————————

Aku kembali ke kamarku dengan kaki yang aku hentak-hentakkan. Luka sayat di pipiku sudah diobati. Aku kesal dengan keinginan presiden, dia pikir aku akan nyaman didampingi seseorang yang sudah menyebabkan luka di pipiku ini? Yang sudah mengacungkan sebuah pedang tajam tepat di hadapanku? Apa otak presiden sudah rusak?

Kubuka pintu kamar dan kubanting dengan kasar. Aku menjatuhkan diri ke kasur, mengacak rambutku frustasi. Aku pun menatap langit-langit kamar yang putih polos itu, mataku kemudian terpejam.

Aku melihat bayangan kampung halamanku yang nyaman. Ada Irish dan Kak Aiden yang sedang bermain-main. Kak Velove dan ibu yang sedang memasak dan ayah yang menyeruput kopinya sambil membaca koran.

Sepertinya kehidupan mereka cukup nyaman meski tanpa kehadiranku.

Semua bayangan itu seketika kabur. Aku melihat lahan rumput yang cukup luas. Hanya ada beberapa rumah dengan jarak berjauhan.

BOOOMM!

Sebuah ledakan besar mengguncang. Ledakan itu membakar tanaman dan rumah-rumah yang ada. Kak Aiden berlari menjauh dari tempat itu, aku bisa melihat luka bakar di sebagian tubuhnya. Ia kesakitan.

"Aaaah!" aku berteriak, sambil memegangi kepalaku yang terasa pening.

Kutukanku...

Kota Airen...

Dengan gerakan cepat, aku berlari keluar, mencoba menyusul presiden yang sudah pergi sejak awal. Kakiku cepat berlari, menuju gerbang istana. Beberapa orang penjaga tampak heran dan tanpa komando, mereka segera menahanku.

"Maaf, nyonya, Presiden tak mengizinkan Anda pergi untuk saat ini," ucap mereka.

"Aku butuh bertemu Presiden Marchel! Ini darurat!" kataku.

"Maaf nyonya, kami tak bisa melakukannya. Sedarurat apapun kondisi yang nyonya katakan. Mungkin lebih baik nyonya menghubungi Presiden karena kami memang bertugas untuk tetap menjaga nyonya di sini,"

Aku terdiam. Aku lupa menanyakan nomor ponselnya. Dengan kesal, aku kembali ke kamarku. Tidak. Aku tidak bisa diam di sini. Aku harus berbuat sesuatu.

Segera setelah aku sampai di kamar, aku menyambar ponselku. Menekan beberapa nomor yang akan menghubungkanku dengan keluarga di kota Airen.

Tuut... tuut...

"Halo?" tanya suara di seberang sana.

"Halo. Ayah?"

"Ada apa, Ai?"

"Ayah, aku baru saja melihat 'kutukan'ku," ucapku.

Ayah terdiam sejenak, terdengar helaan nafasnya yang agak berat. "Lanjutkan,"

"Ini mengenai Kota Airen. Ada sebuah ledakan yang akan terjadi di Airen," kataku panik.

"Tenanglah, Ai. Jangan panik begitu," ayahku mencoba menenangkan. "Coba jelaskan dengan baik, bagaimana detailnya, kapan kejadiannya, dan di mana tempatnya?"

Aku menggeleng, memejamkan mataku dengan gemas. "Itu yang jadi masalahku, yah. Aku tidak tahu bagaimana detailnya, tempat itu agak asing bagiku," jelasku.

Mr. PresidentWhere stories live. Discover now