Undeniable Kiss

1.5K 162 36
                                    

Mungkin aku bisa melompat.

Hanya itu satu-satunya ide yang terlintas di kepalaku. Bahkan aku tidak berpikir dua kali untuk melakukannya. Kubuka dengan cepat pintu menuju balkon, perlahan aku mengintip, memastikan tak ada seorang manusiapun yang menyaksikan hal ini.

Matahari dapat kusaksikan malu-malu mengintip dari balik awan, memancarkan sinar tipis di kota Aidel. Kepalaku kembali melongok di antara pagar balkon, mengukur ketinggian tempat ini sebelum melakukan ide gilaku.

Lima meter.

Kira-kira itu jarak antara balkon dengan tanah. Aku menghela napas, membulatkan tekad, menyemangati diri sendiri. Ayolah, Airen! Kau putri mantan pasukan elite khusus! Kau seharusnya bisa melakukan ini!

"Baiklah, otak..." lirihku.

Aku mengintip lagi, sebelum memutuskan turun dari tempat itu. Pelan-pelan, aku memijakkan kakiku di luar pembatas balkon. Menapakkan kaki di manapun tempat yang bisa kutapaki. Posisiku sudah seperti para pemanjat tebing, hanya saja aku turun.

Perlahan namun pasti, akhirnya aku sampai di dasar. Aku bersyukur tak ada satupun orang yang memergokiku, setidaknya untuk saat ini, dan aku harap begitu untuk seterusnya. Kalaupun ada, tentu aku tak akan membiarkannya begitu saja.

Aku melirik kanan dan kiri, mencari jalan yang kurasa tak akan membuatku terlihat oleh banyak orang. Aku harus bertemu presiden sekarang. SAAT INI JUGA. Dengan cepat kakiku melangkah, berjalan di antara bayangan pondasi istana, sesekali aku merapat tembok bak mata-mata yang tengah berada dalam misi. Beberapa kali aku harus bersembunyi ketika para pengawal maupun pelayan istana lewat.

Layaknya profesional, aku mengendap-endap di antara tingginya tiang-tiang pondasi. Sebisa mungkin, kakiku tak menimbulkan suara. Mataku awas menilik sekitar. Hampir saja dua pengawal memergokiku, jika aku tak segera kabur dan bersembunyi di celah antara dua tembok. Celah itu cukup gelap hingga aku yakin para pengawal tak akan melihatku.

Drap. Drap.

Dapat kudengar langkah kaki kedua pengawal yang makin menjauh, tanda lampu hijau buatku. Aku menengok keluar celah, memastikan kedua pengawal itu sudah benar-benar pergi. Aman. Masih menengok ke belakang sambil perlahan menampakkan tubuhku dari bayangan.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Aku hampir terlonjak begitu mendengar suara familiar itu di telingaku. Aku segera menengok dan mendapati Clara tengah bersandar di tembok. Sejak kapan Clara memiliki kemampuan untuk berjalan tanpa suara?

"Aku tadi melihatmu bersembunyi di sini, jadi aku mengikuti langkah pengawal untuk menyamarkan suara langkahku," katanya seakan menjawab pertanyaan di otakku.

Aku hanya mendengus.

"Sungguh, Ai, apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau seharusnya berada di kamarmu setelah kejadian kemarin?"

Aku kini menatapnya tajam. "Apa presiden ada di kantornya? Aku butuh bertemu dengannya."

Clara memutar bola matanya. "Aku takkan menjawab pertanyaanmu sebelum kau menjawab pertanyaanku juga, aku pun ingin mendengar alasanmu mencari presiden. Aku akan mempertimbangkannya, apakah kau harus tetap di sini atau aku membiarkanmu menemui pesiden."

"Sejak kapan kau formal begitu?" tanyaku sinis.

"Ai, atas perintah presiden, kau seharusnya berada di kamarmu sekarang. Meskipun aku sahabatmu, aku lebih tak mau berurusan dengan suamimu itu," jawab Clara terlihat kesal, beberapa kali ia memutar bola matanya.

Aku meliriknya sesekali, membuatnya menatapku dengan tak sabar. "Baiklah, ini semua berhubungan dengan kutukan," jelasku menyerah.

Mata Clara melebar seketika, reaksi yang wajar jika seseorang tengah terkejut. "Presiden dalam bahaya?" tanyanya memastikan.

Mr. PresidentWhere stories live. Discover now