It's A Gift!

3.5K 234 16
                                    

Nyahaaaa~
Maaf, saya baru balik ke cerita ini. Berhubung si 'penulis bayangan' lagi susah dihubungi (dan ngambek mungkin), jadi ya update-nya lama. Nah, ini spesial buat kalian semua yang sudah dengan sabar menunggu kelanjutan cerita ini. Thank you so much... :*

Maaf, kalau nggak sesuai keinginan teman-teman, saya juga bingung XD

_______________________________________________________________________

"Teganya kau ingin meninggalkanku," kata Clara ketika kami menjemputnya.

"Tapi akhirnya kami menjemputmu, apa masalahnya?" balas presiden dengan wajah dinginnya. Aku hanya tersenyum kecut mendengar jawaban presiden.

Tak jauh berbeda denganku, Clara juga melakukannya, dan ia tak berani memandang wajah presiden. Ia tak pernah menyangka bahwa presiden lah yang akan membalas candaannya. Catat: dengan dingin.

"Cepat naik, aku masih punya banyak pekerjaan," tegasnya.

Aku dan Clara saling berpandangan, terdiam beberapa saat. "Sorry," gumamku merasa bersalah. Clara mengedikkan bahunya, lalu tersenyum maklum sebelum kami memasuki mobil presiden yang mewah itu.

Perjalanan memakan waktu lumayan lama dan tak ada yang perlu diceritakan selain itu. Aku hanya sibuk memandangi luar jendela mobil melihat keadaan kotaku yang masih sama seperti terakhir kali aku kemari. Halo? Ini baru beberapa hari kepindahanku, apa yang aku harapkan?

Clara sepertinya kelelahan, ia tertidur dengan sangat pulas sementara presiden berkutat dengan beberapa pekerjaannya. Tidak ada suara di dalam mobil ini. Aku kembali menatap keluar jendela. Pandanganku terpaku pada tembok besar yang mengelilingi kotaku. Itu daerah perbatasan. Aku belum pernah keluar dari negaraku dan melihat sebenarnya seperti apa di luar sana. Di balik tembok besar yang menjadi pertahanan negara.

Kami menaiki helikopter setelahnya, dan sampai di istana tak lama kemudian. Aku menghela nafas panjang setelah turun dari helikopter. Clara turun setelahku, lalu memandangku dengan tatapan lelahnya.

"Istirahatlah, Clara," ucapku. Ia mengangguk dan tersenyum, kemudian berlalu.

Jalannya sedikit limbung memasuki salah satu koridor besar di istana. Aku sedikit khawatir dengan keadaannya yang lebih mirip manusia tanpa jiwa. Beberapa kali ia jatuh, tersadar, berjalan lagi namun akhirnya kembali terjatuh. Begitu seterusnya sampai ia menabrak seseorang.

Mataku terbelalak kaget, dan aku berniat menemui Clara. Sayang, niatku digagalkan oleh cekalan tangan presiden.

"Biarkan dia. Dia bersama Rei," katanya sembari menarik tanganku.

Aku meringis ketika rasa sakit tiba-tiba menjalar di lenganku. Entah mungkin karena teringat sesuatu, presiden berhenti lalu memandangku. Aku mengernyit melihat tatapan matanya. Salah satu tangannya ia tengadahkan seakan meminta di hadapanku.

"Well, sepertinya kau harus memberikan sesuatu di balik pakaianmu," ucapnya dengan dingin. Mataku terbelalak.

Presiden terdiam sesaat sebelum menyadari keambiguan kalimatnya, ia mendeham. "Maksudku benda yang kau simpan untuk membunuh Daniel," ralatnya cepat, tanpa mengurangi nada dinginnya.

Aku memutar malas kedua bola mataku, sebelum merogoh benda di sisi pinggangku. Aku pun mengeluarkan sepucuk revolver dan memberikan pada presiden. Presiden menerimanya, memindahkan revolver itu ke tangan satunya dan melakukan hal yang sama seperti ia meminta revolver itu.

"Apa?" tanyaku mencoba galak.

Matanya, menatap salah satu sisi pinggangku dan ia menaikkan dua alisnya. Ia menyadari benda lain yang aku simpan.

Mr. PresidentWhere stories live. Discover now