SATU

1.5K 177 85
                                    

Rasyid di kenal si bujang lapuk, di lingkungan keluarga. Untuk seusia Rasyid, katanya harus udah menikah. Baru usia tiga puluh satu tahun lho, udah pada ribut. Apa kabar oppa-oppa, mereka masih santai. Warga wakanda berfolowrs emang beda. Lihat usia nambah, pertanyaan kapan nikah. Nikah tinggal, nikah. Susah amat. Apalagi Rasyid, kalau soal cewek mah, gampang. Yang susah nyari yang bisa ngimbangin kelakuannya. Taulah kelakuannya yang seneng banget nyindir dan pedes kalau ngomong. Cuma Sasi yang selama ini bisa balas bacotan Rasyid.

"Abang!!" Waduh, teriakan maut mama yang sudah tiga tahun menjanda akibat papanya meninggal. Janda bukan sembarang janda, hartanya banyak.

"Kenapa mah?" Rasyid datang dari ruang tamu, tangannya sibuk memainkan ponsel. Manusia pengangguran tapi tiap harinya gonta-ganti mobil. "Mah."

"Bang, tolong ke rumah om Kenzo dong."

"Ngapain?" Satu dua tiga, ini bahaya. Ketemu om Kenzo bagaikan ketemu musuh bubuyutan. Apa mama tidak kasihan sama anaknya yang sering di bully om sendiri? Sepertinya mama memang tidak tau kalau anaknya sering di nistain.

"Bilang om Kenzo, suruh transfer hasil jual rumah."

Bentar, ini kayaknya Rasyid yang bego. Yang jual siapa, yang di transfer siapa. Sebenarnya yang pinter siapa? Kadang-kadang memang bikin Rasyid mikir keras.

"Gunanya hape buat apa, mama? Telepon aja. Lagian mah, om Kenzo suka bully abang tau."

"Bully kenapa?"

"Katanya, heh bujang lapuk, nikah sono. Bayangin deh mah, ngeselin banget itu adiknya papa."

"Salahnya di mana?" Rasyid menunduk lemas. Ia salah bicara kalau sama mama. Jelas mama orang pertama yang mau anaknya cepet nikah. Masa katanya tiap hari keluyuran, tapi tidak bawa buntut. Di kata Rasyid binatang kali punya buntut.

"Cepetan."

"Mah, minta emak Iroh atau Syarief aja."

"Syarief sama kamu sama aja." Rasyid terkikik geli. Syarief, asisten papa yang setia sejak dulu, kini masih bekerja di rumah Waluyo.

"Yaudah iyah." Rasyid beranjak dari duduknya, lalu keluar setelah pamit pada sang mama. Mana cuaca sedang panas, dan hal yang membuat Rasyid malas adalah menghadapi cuaca panas. Bagi Rasyid panas itu membuatnya tidak tampan lagi.

"Rif."

"Kenapa bang?"

"Need payung." Syarief mengangguk, lalu segera ke dalam untuk mengambil payung. Syarief mengira bahwa Sasi paling super random dan sifatnya yang super aneh. Ternyata ada yang lebih aneh lagi, Rasyid. Iyah, Rasyid anak dari atasannya yang kini sudah tenang di alam kubur. Syarief memang memutuskan untuk tetap menjaga keluarga Waluyo, seperti permintaan Waluyo.

"Nih." Rasyid menerima payung, ia membuka payung lalu berjalan untuk masuk ke dalam mobil. Syarief yang melihatnya hanya mampu bisa menahan kekesalan. Sebenarnya parkiran mobil ada di mana sih? Sampai harus memakai payung. Syarief yang di amanah kan untuk menjaga Rasyid, ia hanya bisa pasrah. Lama-lama ia bisa bersaing dengan Ine, yang memiliki bos super aktif.

"Bang, udah sampe." Rasyid keluar dari mobil, menatap rumah milik Sasi. Lebih tepatnya milik orang tua Sasi. Tarik nafas, buang nafas. Ia harus menyiapkan mental yang kuat agar bisa menghadapi manusia semacam Sasi. Syarief memilih di dalam mobil, mana mau Syarief kena imbas.

"Assalamu'alaikum ya ahli---

" Bang, awas ke injak mainan Elano!! "

Telat, Iyah teriakan Sasi sangat telat. Raysid sudah terjungkal di lantai depan pintu masuk. Syarief tertawa yang memilih di dalam mobil. Istighfar beberapa kali agar Rasyid tidak marah.

RASYIDWhere stories live. Discover now