NASIB RT

653 113 44
                                    

Rasyid jalan paling tengah. Di samping kanan ada mpok Alpa pegang sapu lidi, ada mpok Nina pegang sapu ijuk. Sebelah kiri ada mpok Hindun pegang serokan, ada Ayu pegang gagang pel. Ambu, jalan di belakang bawa tongkatnya. Rasyid dengan tangan kosong, oh jangan lupakan pakaiannya yang selalu serba baju bola. Katanya sih cita-cita Rasyid jadi pemain basket, makanya Rasyid senang pakai baju bola. Memang aneh manusia satu ini.

"Assalamu'alaikum pak Lurah!!" Kini semua warga yang semula sedang duduk asik menyaksikan kampanye Lurah, di buat kaget melihat RT datang.

"Waalaikumsalam pak Rasyid." Panggilan ini sangat mengusik pendengaran Rasyid. Padahal Rasyid tidak suka kalau di panggil pak. Makanya para warga memanggilnya abang rt. Kemauan Rasyid sendiri. "Kenapa ini datang-datang bawa alat bersih-bersih?"

"Mau bersihin kemunafikan orang." Rasyid menoleh ke arah samping. Mpok Alpa emang main terobos aja. Belum juga mulut Rasyid mangap, main serobot aja.

"Kampanye pak Lurah udah selesai?" Lurah Sidik mengangguk tersenyum. "Begini pak, saya mau tanya. Kenapa Ayu di larang hajatan di lapangan?"

"Pak Rasyid sebelumnya saya minta maaf, tapi ini demi kebaikan para warga. Kalau mau hajatan, bisa di halaman rumahnya"

"Kan, pak Lurah tau rumah saya di dalam gang. Mana bisa di pake buat hajatan." Sela Ayu dengan wajah kesalnya. Semua mengangguk setuju. Memang ada yang salah dalam diri Lurah ini. Rasyid curiga kalau Lurah tersebut bisa saja mau mempersulit warganya. Oh tidak akan bisa ia biarin.

"Ayu, lapangan buat main bola. Masa lapangan buat hajatan? Kasian warga kalau lapangan buat main di pake hajatan."

"Bentar deh, yang mau nikah si Ayu, yang mau hajatan si Ayu, yang biyaya calon suami si Ayu, urusan sama warga apa?" Lurah Sidik diam membisu. Mulut Rasyid memang melebihi omongan ibu-ibu.

"Pak Rasyid, berhubung lapangan itu bukan milik salah satu warga jadi--

"Si Ayu pake sehari doang elah, napa lo yang ribet?" Kalau sudah keluar gaya Rasyid yang tengil, percayalah para ibu-ibu langsung nonton. Lihat saja, yang tadi sudah pada pegang sapu dan alat lainnya, langsung mengambil kursi duduk menyaksikan perdebatan RT dan Lurah.

"Pak Rasyid, ini sangat mengganggu kenyamanan warga. Lebih baik tidak ada resepsi kalau tidak memungkinkan."

"Kenapa lo yang ngatur? Gue lihat, lo selalu begini sama warga gue." Kan, titisan sadis keluar. Harusnya tadi mpok Alpa bawa makanan. "Itu lapangan milik lo?"

"Pak Rasyid--

"Siapa pemiliknya? Perlu gue beli?" Semua terdiam membisu. Siapa yang tidak tau dengan latar belakang seorang Rasyid yang menjadi RT di kampung DUKU. Semua tau Rasyid adalah anak pengusaha dan dia jadi RT karena gabut, capek katanya nganggur terus. "Diem kan, kagak usah jadi Lurah. Cocoknya jadi tukang ngutangin."

"Pak Rasyid tolong jangan mempersulit. Saya harap pak Rasyid paham."

"Kagak. Gue kagak paham. Emangnya itu lapangan mau tiap hari di pake main bola?"

"Pak Rasyid--

"Sehari. Si Ayu pake cuma sehari, kaga seminggu. Pinjemin."

"Maaf Pak, saya tidak bisa mengijinkan."

"Kagak perlu ijin lo, lapangan bukan milik lo." Semua mengangguk setuju. Lalu melihat orang-orang Lurah yang mau menghadang Rasyid, para ibu-ibu siap siaga berdiri di depan Rasyid. Alat-alat bersih sudah siap siaga di pakai.

"Lurah. Perkara lapangan kagak ada hubungannya sama Lurah. Pake ijin RT udah cukup." Sewot mpok Hindun, beliau bahkan maju ke arah Lurah Sidik. Wajahnya yang galak nampak jelas. Lurah Sidik lupa bahwa ibu-ibu adalah spesies yang sulit di lawan. Apalagi mpok Hindun terkenal dengan suara yang keras.

RASYIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang