22¦ Dendam

1.2K 129 7
                                    

"Jangan, kumohon jangan bunuh dia ...."

Malam mendadak hening dari bentakan, teriakan, serta aungan. Hingga suara angin malam yang berembus setengah kencang pun dapat Boruto dengar dengan jelas. Bulan purnama yang tadi berdiri di puncak malam pun mulai bergulir turun dari puncaknya.

Mia jatuh berlutut. Matanya menatap Wanita Asing yang masih berada dalam todongan pedang Boruto. Air mata Mia jatuh, menjalar di sepanjang kulit pipinya sebelum resmi memeluk tanah. Bahunya bergetar hebat bersama bibirnya yang digigit erat. Kepal tangannya membuat kulit telempap wanita itu memutih.

"Mia-san?" lirih Sarada.

Mitsuki memegang erat lengannya yang terluka. Benaknya berusaha memahami apa kiranya keadaan yang akan segera terbentuk, akibat dari datangnya Mia untuk mencegah Boruto memungkasi pertarungan. Ada apa dengan Mia?

Perlahan, Mia bangkit, menyeret kaki-kakinya untuk menghampiri keramaian. Gadis itu melintasi kedua serigala yang telah tewas tanpa pernah menghapus air matanya yang masih terus mengalir. Dadanya sesak, bagai dihimpit oleh bebatuan.

Pedang Boruto masih menekan leher musuh, yang apabila ia gerakkan sedikit, maka akan lekas menyayat kulit Wanita Asing itu. Boruto menatap senyum penuh kemenangan yang diukir oleh wanita itu seolah ia tak takut mati saat ini juga. Ketika Mia datang, Boruto pun menoleh.

"Mia-san?" Panggilan Boruto menuntut penjelasan.

Mia menjatuhkan pedangnya dengan gemetar. Ia menatap Wanita Asing yang kini berada di ambang maut, dengan tatapan perih lagi sengsara. Bibirnya terbuka tipis, membuang napas dengan begitu lirih.

"Nee-san?"

Boruto, Mitsuki, dan Sarada membelalak, dan secara tak sadar Boruto mengendurkan tekanan pedangnya.

Mia jatuh berlutut, mencium kedua kaki Wanita Asing itu dengan tangis yang kembali pecah. Bahu gadis itu berguncang sebegitu hebatnya tanda tangisnya sampai pada tingkatan puncak. Bibirnya kembali memanggil, "Nee-san?"

Wanita Asing itu menghapus senyumnya, berganti dengan wajah datar tanpa ekspresi.

"Kau ...," lirih Mia, "kukira kau sudah mati di luar sana. K-kenapa kau muncul kembali dengan semua kerusakan ini?"

Wanita Asing itu diam tanpa minat untuk menjawab Mia.

Boruto menurunkan pedangnya, tapi masih memegang erat keyakinan bahwa ia tak akan ragu untuk membunuh wanita itu. Langkah Boruto mundur selangkah, dan membiarkan dua bunshin-nya tetap memegang tangan Wanita Asing itu.

"Cih." Senyum keji kembali terlukis di wajahnya. "Lepaskan tanganmu dari kakiku. Kau ... sampah, Mia."

Mia tertegun sejenak, lantas bangkit dengan air mata yang menetes deras. Telunjuk kanannya diacungkan tepat di hadapan wajah sang Kakak. "Kau yang sampah!!" teriaknya. "Aku ... selama ini aku masih menganggap bahwa kau adalah Kakakku! Kau Kakakku, kau Akane! Tapi sekarang apa? Kau tak mau menganggap aku sebagai Adikmu? Siapa aku kalau aku bukan Adikmu, Akane?!"

Sarada mengernyit, napasnya mulai terasa sesak karena rendah sisa chakra-nya. Di sebelahnya, Mitsuki menatap Akane dan Mia bergantian. Ujung tajam pedang Boruto pun menyentuh tanah, selagi pemiliknya meperhatikan Mia dan Akane.

"Kau ...," lirih Akane, matanya menyipit penuh perhitungan. "Sudah berapa kali kukatakan, kau bukan Adikku jika kau tak bersedia untuk menjadikan kehidupan kita abadi dan membalaskan dendam Ayah?! Apa guna sihir yang kuajarkan? Apa gunanya?! Kau bahkan tak mau menggunakannya, kau tak pernah menggunakan sihir dan semua ilmu yang pernah kuajarkan! Dengan begitu, kau masih pantas disebut sebagai Adikku?" Akane menggeleng. "Kau bukan Adikku. Kau tak pantas untuk itu."

Future? [BoruSara Fanfiction]Where stories live. Discover now