020822 (1)

124 17 0
                                    

020822
D+1

[]

Ada beberapa alasan mengapa Yoon Jeonghan membenci popularitas, meski dia sebetulnya juga turut andil dan turut mendapatkan keuntungan darinya. Salah satunya adalah kenyataan bahwa saat kau populer, kau tidak punya privasi. Hidupmu seolah bukan lagi milikmu, melainkan milik ribuan atau jutaan penggemarmu. Kau harus menjadi orang terbaik, orang paling ideal di dunia, orang paling tidak berdosa yang pernah hidup. Salah sedikit, dan kau akan kehilangan hasil kerja kerasmu selama bertahun-tahun.

Hari ini, alasan itu bertambah satu, dengan sesuatu yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya: saat kau populer, bahkan kematianmu tidak akan mungkin damai.

Sambil memperbaiki posisi maskernya, Jeonghan mengintip dari jendela, memperhatikan sekerumun orang yang memenuhi halaman parkir hingga jalanan di depan rumah duka. Ada dua jenis orang di sana: para penggemar dan para wartawan. Dia bersyukur bahwa setidaknya, mereka tidak membuat keributan. Agensi tempatnya bekerja pun sudah mempekerjakan beberapa pengawal untuk memastikan mereka tidak memasuki rumah duka.

Tetap saja, dia membenci ini. Seharusnya tidak ada sebanyak itu orang di bawah sana. Seharusnya tempat ini dirahasiakan.

Satu-satunya hal baik dari semua ini adalah bahwa banyak orang menangis untuk Seungcheol. Seluruh dunia layak bersedih karena kehilangan Choi Seungcheol.

Air mata Jeonghan sudah dia habiskan tadi malam, bersama dengan sebotol anggur yang dia punya. Kalau tidak salah, anggur itu adalah pemberian Seungcheol saat ulang tahunnya tahun lalu. Dia masih ingat catatan yang ditempelkan di botol itu dengan sebuah post-it kuning. Jeonghan segera mengenali tulisan Seungcheol yang agak sulit dibaca itu.

Ayo minum bersama jika masih sempat.

Waktu itu, Jeonghan tidak memikirkan apa-apa mengenai pesan itu. Namun, jika dia memikirkannya sekarang, pesan itu seakan punya makna tersembunyi. Seungcheol, sebagai salah satu rapper yang juga sekaligus menuliskan beberapa lirik lagunya sendiri, jago melakukan itu. Jika masih sempat. Jika Seungcheol masih hidup. Jeonghan bahkan yakin, ketika Seungcheol menuliskan pesan itu di sela-sela kesibukannya, dalam benaknya tidak hanya ada Jeonghan.

Jika diartikan, mungkin inilah yang sebenarnya Seungcheol maksudkan: Ayo minum bersama – aku, kau, dan Joshua – jika aku masih ada di dunia ini.

Jeonghan jadi berharap dia tidak menghabiskan anggur pemberian Seungcheol.

Untung saja dia masih bisa bangun pagi ini meski mengalami hangover terparah dalam hidupnya. Setidaknya, untuk menghormati Seungcheol, dia harus sadar sepenuhnya. Dia tidak mau merusak hari yang sudah suram ini dengan lebih banyak kekacauan.

"Yoon Jeonghan."

Kim Mingyu tampak lelah saat dia berjalan menghampiri Jeonghan. Sebagai manajer Seungcheol, Mingyu pasti sibuk sekali mengurus berbagai hal yang harus dia urus – Jeonghan tidak tahu, dan tidak ingin tahu, apa saja hal-hal itu. Atau mungkin, dia tidak bisa. Kepalanya masih sedikit sakit akibat hangover dan hatinya masih terlalu perih untuk memikirkan itu.

"Hyung," sapa Jeonghan.

Untuk sesaat, kedua laki-laki itu saling memberikan kekuatan lewat pelukan. Jeonghan tidak terlalu kenal dengan Mingyu, tapi sebagai sesama pegawai 17 Entertainment, dia sedikit banyak tahu. Mingyu hanya dua tahun lebih tua dari Jeonghan dan Seungcheol, dan dia cukup asyik ketika diajak minum. Jeonghan sedikit yakin kalau Mingyu adalah orang terdekat Seungcheol sekarang, terutama mengingat kesibukan Seungcheol yang tidak pernah surut.

"Aku tahu kau dekat dengan Seungcheol, jadi aku turut berdukacita," kata Mingyu seraya menarik diri. "Kau pasti sangat kehilangan."

Jeonghan tersenyum. "Pernah dekat, hyung. Aku dan dia sudah tidak sedekat itu. Kurasa sekarang kaulah orang terdekatnya."

"Turut berdukacita untuk kita semua, kalau begitu." Mingyu menyandarkan badannya di dinding, kemudian menghela napas panjang. "Kuharap ini semua adalah mimpi buruk."

Jeonghan juga berharap ini semua adalah mimpi buruk yang terasa terlalu nyata. Beberapa mimpi buruk memang seperti itu – terasa begitu nyata hingga dia tidak tahu mana yang betulan dan mana yang buatan. Terakhir dia merasa seperti itu adalah lima tahun lalu, saat dia bermimpi dikejar seorang pembunuh gila yang membuatnya terpisah dari Seungcheol dan Joshua.

Jika dipikirkan lagi, mimpi itu sebetulnya sudah menjadi kenyataan, bukan? Kecuali bagian pembunuh gila itu, tentu saja.

Omong-omong soal Joshua, Jeonghan masih belum melihat batang hidungnya. Pesannya kemarin hanya dibaca, begitu pula pesannya hari ini, yang menginformasikan tentang alamat rumah duka. Apa dia memang tidak mau datang? Ah, tapi memang begitulah Joshua. Perasaannya adalah yang nomor sekian. Dia mungkin lebih memilih mendahulukan pekerjaannya.

Jeonghan menghela napas, berusaha untuk tidak berpikir negatif. Joshua sekarang ada di Los Angeles, kan? Butuh waktu baginya untuk tiba di Seoul – jika dia memang memutuskan untuk datang.

"Yoon Jeonghan, apa kau mendengarku?"

Jeonghan menoleh pada Mingyu. "Hm? Maaf, aku tiba-tiba teringat hal lain."

Mingyu melepas maskernya sesaat, selagi tangannya yang lain mengusap pipinya. Jeonghan dapat melihat mata Mingyu yang merah dan berair. Jeonghan tidak tahu apa yang harus dilakukan Mingyu sebelumnya – dia tidak tahu apa saja yang harus diurus untuk memakamkan seseorang – tapi dia tahu, ini adalah kali pertama Mingyu bisa menyingkirkan ketegarannya. Ini kali pertama Mingyu bisa merasakan kesedihannya.

"Penyesalan selalu datang paling akhir, kan?" bisik Mingyu, membenahi kembali maskernya.

Dia merosot dan terduduk di lantai. Jeonghan mengikutinya.

"Aku tahu dia kesulitan. Dia tidak pernah mau mengaku, tapi aku tahu." Bahu Mingyu bergetar hebat, membuat Jeonghan berinisiatif untuk menepuknya. "Aku menyuruhnya untuk fokus bekerja. Andai aku tahu, aku akan menyuruhnya berhenti."

Ah, perandaian-perandaian itu. Selagi memindahkan isi botol anggur ke dalam kerongkongannya tadi malam, Jeonghan tidak beres-beresnya berandai-andai.

Mata Jeonghan mulai terasa basah. Dia menarik napas panjang, berharap udara yang masuk ke paru-parunya bisa mengeringkan air di matanya, entah bagaimana caranya.

"Aku paham perasaanmu," balas Jeonghan. "Andai saja aku bisa memutar balik waktu dan menyelamatkannya, aku akan melakukannya."

"Sayang sekali kau tidak betulan bisa melakukannya ya."

Jeonghan tersenyum tipis. "Hyung, kau sudah makan? Jangan lupa jaga kesehatanmu."

"Memangnya kau bisa makan di saat seperti ini?" Mingyu mendongak saat namanya dipanggil. "Ah, aku harus pergi." Dia berdiri dan berjalan menjauh.

Jeonghan kembali menarik napas panjang. Mingyu ada benarnya. Dia bahkan tidak tahu apa yang harus dia lakukan setelah ini.

Belum beres Jeonghan mengusap matanya agar segera kering, seseorang memanggil namanya. Saat Jeonghan mendongak, seseorang yang begitu familiar berjalan mendekatinya.

"Joshua Hong."

Dia datang juga.

[SVT FF] 365: Please Don't GoWhere stories live. Discover now