270821

40 4 0
                                    

270821
D-339

[]

Joshua mengernyit melihat jumlah panggilan yang terlewatkan dari Jeonghan. Sekarang baru jam sembilan pagi di Los Angeles, dan dengan perhitungan sederhana dia tahu di Seoul sudah jam satu dini hari. Untuk apa Jeonghan menelepon sepagi itu? Jika ini adalah prank lainnya, Joshua bersumpah akan memblokir nomor Jeonghan.

Tanpa berniat untuk menelepon balik, Joshua hanya mengirimkan pesan. Jika apa pun yang ingin Jeonghan katakan memang sangat penting, dia akan menelepon. Jika tidak —

Ponsel Joshua bergetar beberapa detik setelah pesannya terbaca.

"Tolong katakan kau punya alasan kuat untuk meneleponku sepagi ini," sapa Joshua, tidak repot-repot menyembunyikan kekesalannya.

"Eung?" Jeonghan terdiam. Untuk sesaat, Joshua hanya mendengar suara keyboard ditekan. "Di sana masih tanggal 26 jam sembilan pagi, kan? Tidak terlalu pagi."

"Aku tidak perlu kau untuk memberitahuku jam berapa di tempatku sekarang. Aku akan mengakhiri panggilan."

"Tunggu, tunggu! Tolong sebutkan alamat email-mu. Aku tidak ingat dan tidak bisa menemukannya."

"Untuk apa?"

"Ada yang harus kukirimkan kepadamu."

Joshua menghela napas. Setelah menimbang sejenak, dia menyebutkan alamat email pribadinya. "Apa yang akan kau kirimkan?"

"Aku tahu kau tidak ingat," kata Jeonghan. Suara ketikan keyboard kembali terdengar selagi dia berbicara, "Atau mungkin secara teknis kau tidak pernah mengatakannya. Entahlah. Tapi kau pernah berjanji akan membantuku menyelamatkan Cheol. Aku sedang menagih janji itu. Sebentar, aku akan mengirimkan bukti-buktinya ke alamat email-mu."

Ah, masih omong kosong yang sama. Joshua tidak paham kenapa Jeonghan bersikeras kalau Seungcheol tidak baik-baik saja. Bukankah dia baru saja mengeluarkan album baru? Joshua baru mendengarkan sekali saja dan tidak ingat persisnya, tapi lagu itu terdengar penuh energi seperti lagu Seungcheol lainnya. Seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Jeonghan, kau bukan anak kecil lagi," ujar Joshua akhirnya. "Berhenti mengada-ada."

"Aku tidak mengada-ada."

"Kau jelas-jelas mengada-ada. Seungcheol baik-baik saja."

"Aku tidak — ugh, bagaimana aku mengatakannya?" Jeonghan menghela napas. "Oke, aku tahu aku terdengar gila. Mungkin aku memang sudah gila. Aku tidak tahu apakah aku hanya bermimpi atau mendadak bisa time travel. Aku...." Jeonghan terdiam, pasti kehilangan kata-kata untuk menjelaskan kegilaannya. "Shua, kalau kau ada di posisiku, apa yang akan kau lakukan?"

Joshua mendengus. "Apa lagi? Kembali bekerja karena itu hanya mimpi. Bukankah itu sudah jelas?"

"Dan bagaimana kau yakin ini hanya mimpi belaka?"

"Tidak ada yang namanya time travel, Jeonghan."

"Oke, itu benar. Tapi bagaimana kalau mimpi itu petunjuk? Bagaimana kalau Seungcheol memang tidak baik-baik saja, dan jika kita tidak menyelamatkannya, dia akan betulan mati setahun lagi? Apa kau mau mengambil risiko itu?"

Joshua sudah akan membalas, tapi batal membuka mulutnya. Perkataan Jeonghan ada benarnya. Kemungkinan bahwa Seungcheol tidak baik-baik saja memang kecil, tapi tidak pernah nol. Kalau mimpi itu betulan petunjuk dan Joshua tidak mempercayainya, dia tidak akan tahu caranya memaafkan dirinya jika Seungcheol betulan mati.

Sial, Jeonghan betul-betul tahu cara untuk membujuknya.

"Seandainya memang begitu," kata Joshua akhirnya, masih belum ingin menyerah, "memangnya apa yang bisa kita lakukan? Kalau Seungcheol sakit, dia seharusnya berkonsultasi pada dokter, bukan pada seorang produser musik dan seorang publisis."

"Kau belum tahu bagaimana Seungcheol mati di mimpiku, ya?"

Joshua tidak membalas, tapi dia tidak suka arah pembicaraan Jeonghan. Jangan bilang....

"Di mimpiku Seungcheol mati bunuh diri, Shua," lanjut Jeonghan. "Sekarang kau mengerti, kan, kenapa aku butuh bantuanmu?"

Sial.

Joshua tidak mengatakan apa-apa, bahkan saat Jeonghan bilang dia sudah mengirimkan buktinya dan mengakhiri panggilan. Dia menatap layar komputernya, yang menampilkan akun surat elektroniknya. Sebuah pesan baru muncul beberapa detik lalu. Bentuk oval biru bertuliskan new di sebelah nama pengirim itu menari-nari seolah menyuruh Joshua untuk segera membukanya.

Tanpa mengindahkan pesan itu, Joshua menutup tab tersebut. Hari kerjanya baru saja dimulai. Perhatiannya tidak boleh terbagi.

[]

Lama-lama Joshua betulan ingin memblokir Jeonghan saja.

Kepala Joshua baru saja menyentuh bantal saat ponselnya berbunyi nyaring. Meski dia baru saja menyelesaikan pekerjaannya setengah jam yang lalu, jam digital di samping tempat tidurnya sudah menunjukkan angka 00:17. Yang Joshua butuhkan adalah tidur, bukan mendengarkan celotehan Jeonghan tentang mimpi buruknya.

Dia hendak menolak panggilan itu, tapi saking mengantuknya dia justru mengangkatnya. Bagus sekali. Joshua menghela napas saat suara Jeonghan menyambutnya.

"Kau sudah mengecek email-mu?" tanya Jeonghan tanpa berbasa-basi.

Tentu saja. That goddamn email. That goddamn nightmare. Jika hal-hal ajaib betulan bisa terjadi, Joshua ingin memasukkan tangan melalui ponsel dan mengeluarkannya di ponsel Jeonghan untuk mencekik pemiliknya. Jeonghan mungkin sudah perlu pergi ke dokter untuk mengecek otaknya. Ada yang salah dengannya.

"Aku bahkan tidak cukup sadar untuk berbicara denganmu." Joshua memijat keningnya. Kepalanya sakit sekarang.

"Kau mabuk?"

"It's fucking midnight here, Jeonghan. Aku butuh tidur."

"Oh, benar. Maaf. Jangan lupa cek email-mu."

"Aku akan benar-benar memblokirmu."

Tanpabenar-benar menunggu balasan, Joshua mematikan ponselnya. Email itu bisa menunggu. Kantuknya tidak. Joshua jelas tahu manayang harus dia prioritaskan saat ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[SVT FF] 365: Please Don't GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang