Epilog

33 2 0
                                    

Saat itu, mau tak mau Karin mengambil langkah mundur. Ia menutup mata serta telinganya. Setelah ia membuka keduanya, Eran sudah tak ada dengan Vanya yang sudah tergeletak tepat di depannya.

Pemandangan itu sangat mengerikan. Jika Karin terus menatapnya, bisa-bisa ia muntah. Mayat Vanya sudah tak layak lihat. Tangan kirinya yang putus, pipinya yang mengupas, memperlihatkan rahangnya itu, lalu dengan bagian perutnya yang gosong. Sungguh, itu sangat menjijikkan.

Tubuhnya merosot, jatuh terduduk dengan air mata yang mulai mengalir. Tangannya bergetar, ia mencoba mengusap wajah Vanya. Bahkan untuk melakukan hal itu saja Karin tak kuasa. Ia akhirnya menggunakan tangannya untuk menutupi wajahnya. Di dalam sana, ia menangis.

'Mati disini? Nggak etis banget!' ucapan yang keluar dari mulut Vanya itu terus menghantui Karin. Memang seharusnya ia tak mengizinkan Vanya untuk ikut. Hal ini adalah yang paling ditakutinya. Kehilangan seorang teman. Kehilangan seseorang. Kehilangan.

Ia kembali kehilangan. Ia kembali merasakan pedihnya kehilangan seseorang karena kesalahannya. Ia kembali merasakan dihantui oleh rasa bersalah. Perasaan itu sangat membuatnya risih.

Apa yang harus ia katakan kepada Allen dan Bara? Apa ia harus mengatakan bahwa Vanya mengorbankan dirinya? Atau bahwa ia yang gagal mengamankan Vanya? Atau salahnya yang mengikutsertakan Vanya untuk mengejar Eran?

Angin sore itu sangat kencang. Daun-daun berhamburan. Rambutnya terbang kesana kemari. Namun tetap saja, angin itu tak mampu terbang membawa rasa bersalah Karin. Membawanya pergi sejauh-jauhnya.

Gadis itu menatap pilu kendaraan roda empat yang tak hentinya membunyikan sirine. Ia kacau, entah segi jiwa maupun raga. Iris terang matanya meredup, memberitahu alam bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.

Mobil itu menjauh, meninggalkan seorang insan dengan keresahan jiwanya. Ia melemah, tak kuasa menahan tubuhnya, gadis itu terjatuh tergeletak di hamparan aspal nan dingin.

Ia telah menyelesaikan misinya. Ia sangat menantikan momen ini, namun dengan temannya disampingnya. Teman-temannya yang tersenyum dan tertawa. Teman-temannya yang selalu membuatnya tenang. Bukan akhir yang sepertinya ini. Bukan teman temannya yang justru meninggalkannya. Bukan teman-temannya yang terbaring lemah di rumah sakit. Bukan.

•••

Karin akhirnya dibawa pulang ke rumah. Untuk sementara, tantenya menginap di rumah. Setelah memastikan keadaan baik, barulah ia akan pulang.

"Karin, makan Nak." Dewi, menatap keponakannya yang masih setia dengan lamunannya. Ia tengah menggendong Lean yang sudah tertidur.

"Kamu belum makan malam kan? Ayo makan. Tante udah masak sop ayam." Dewi mendesah. Ia akhirnya memilih meletakkan Lean di kamarnya.

Dewi kembali ke sofa setelah memastikan Lean bisa ditinggal. Ia mengusap rambut Karin dengan lembut. Dilihatnya tatapan kosong itu. Tak tega, ia membawa Karin ke pelukannya.

Mungkin yang Karin butuhkan sekarang adalah dekapan hangat. Seseorang yang bisa mengatakan bahwa ini semua bukan salahnya, walaupun ini memang salahnya. Seseorang yang dapat mengerti kegelisahannya. Seseorang yang pernah mengalami apa yang dialaminya.

Di dalam pelukan itu, Karin menangis. Dan tentu saja Dewi dapat merasakannya. Yang ia lakukan hanya mengusap punggung Karin, berharap gadis itu merasa nyaman.

"Tante, apa aku pembunuh? Aku udah ngebunuh Alzey, Bunda... Vanya juga?" Ucapnya menatap wajah Dewi.

Dewi menggeleng. "Nggak, sayang. Itu semua udah direncanain sama Tuhan. Kalo emang takdirnya begitu, kamu bisa apa?" Kata-kata itu mirip seperti ayahnya.

"Jangan menyalahkan diri sendiri begitu, meskipun kamu ada disana kala itu, jika takdir sudah berkata, kamu bisa apa, Kak?

Tuhan telah menyiapkan apa yang terbaik. Tidak ada yang bisa memprotesnya. Hal itu sudah mutlak, kamu nggak boleh menentang Tuhan."

Karin hanya terdiam mendengarnya. Ia meminta Dewi untuk menyiapkannya makanan. Entah mengapa, ia merasa termotivasi. Apakah karena ia merindukan ayahnya atau hal lain. Yang ingin Karin lakukan sekarang adalah bangkit. Membuka lembaran hidupnya yang baru. Menghapus semua kenangan buruk.

•••

Langit pagi ini terasa lebih bersahabat. Aku menutup mataku untuk sekedar menikmati semilir angin yang menerpa kulitku. Aku mulai menghembuskan napas lega. Semuanya telah berakhir.

Tak ada lagi tangisan, erangan, ketakutan, ataupun rasa bersalah yang menghantuiku. Aku telah belajar banyak dari Tante Dewi. Berbicara tentangnya, dia berniat untuk tinggal bersamaku untuk waktu yang lama. Setidaknya sampai aku mendapatkan pekerjaan, katanya. Dia juga bersedia mengurus Lean.

Ketika aku membuka mata, aku melihat perdebatan kecil teman-temanku. Aku hanya tersenyum lalu tertawa sesekali. Aku hanya... tidak percaya akan berada di fase ini. Fase dimana tidak ada lagi kegelisahan dalam diriku. Fase dimana aku bisa benar-benar tertawa.

Setelah kejadian yang cukup melelahkan itu, setidaknya ada hikmah yang dapat kita ambil-jangan pernah datang ke pesta ulang tahun sekolah jika tidak mau kehilangan salah satu teman dan keluarga mu.

Untuk Vanya, terimakasih telah menyelamatkan nyawaku. Aku sudah mengikhlaskan kepergian mu, walaupun sesekali aku menangis mengingatnya. Semoga kau baik-baik disana.

Untuk Ayah, semoga kau juga mendapat ampunan dari Tuhan. Ya, ayahku meninggal saat perjalanan dibawa ke rumah sakit.

Untuk orang-orang jahat, terimakasih telah membuatku lebih berani mengambil tantangan. Terimakasih telah mengubah sebagian hidupku menjadi lebih baik. Dan semoga Tuhan mengampuni kalian.

Untuk teman-temanku, terima kasih.

OH IYA, apa kalian bertanya-tanya untuk tempus est, mox? Adikku Lean, mendapat bisikan itu dari Eran. Eran dapat melakukan telepati. Mengapa Eran mengatakan itu? Eran meminta Lean untuk membantunya mengelabui ku, aku tidak tahu caranya bagaimana (tanya sendiri kepadanya), tetapi yang jelas, Lean menolaknya.

"Ya elah. Itumah gampang! Tinggal masukin aja rumusnya." Ucap Allen.

"Yeu! Lo mah enak pinter, lah gue!" Protes Bara yang tak kunjung mendapat jawaban pr nya.

Meskipun berdecak, Allen dengan tulus mengajarkan Bara-agar anak itu tidak rewel lagi. Aku hanya tersenyum melihatnya, kemudian kembali menyantap batagor-ku.

Saat ini, kami sedang berada di kantin sekolah. Sejak saat itu, kami sering keluar bersama. Oh, dan tak lupa mengajak Alena dan Jade. Kami berlima sudah menjadi sohib. Yah, meskipun aku berharap ber-enam.

"Jade, lo pinter sejarah kan? Sekalian kerjain tugas gue dong." Pinta Bara memelas. Yah, wajahnya yang seperti itu memang menyebalkan.

"Ya minta aja sama pacar lo tuh. Dasar!" Jade menjawab dengan makanan di mulutnya. Hal itu membuatku menyuruhnya menelan makanannya baru kemudian berbicara.

"Nggak usah di kasih tau Kar. Anak ini sukanya tempe. Biar aja biar modar sekalian." Bara kemudian mendapat geplakan dari Allen. Ia meringis.

"Lo kok mau pacaran sama dia?" Tanya Jade kepadaku. Aku hanya mengedikkan bahu, tidak tahu apa yang membuatku menerima ajakan pacaran dari Bara yang notabenenya bocah tengil.

Kejadian itu memalukan. Bara mengajakku pacaran ketika ia terbaring lemah di rumah sakit. Ia dengan segala kata-katanya yang dramatis itu, juga muka dramatisnya.

Namun menurutku, Bara itu unik. Instead of "Will you be mine?", Bara lebih memilih untuk mengatakan "I wanna be yours." Hal itu tentu saja membuat hatiku meleleh. Apakah kalian juga akan meleleh?

End.

Thank YouUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum