3. Pejuang

11 3 0
                                    

Kucing belang itu terlihat begitu tertatih. Napasnya pun sangat berat, tetapi tidak melunturkan semangatnya menghampiri Bintang. Di tempatnya, Bintang bergeming tanpa kata sambil tetap memperhatikan si kucing. Embusan napas kasar kembali keluar dari mulut Bintang. Ia memutuskan bergerak mendekat ke arah kucing belang itu.

"Kamu terluka begini, tapi kenapa masih berkeliaran? Lukamu akan bertambah parah," komentar Bintang seraya memperhatikan si kucing.

Seakan membalas ucapan Bintang, kucing itu mengeong pelan dan lirih. Mengharapkan belas kasih pemuda yang ingin mengakhiri hidupnya itu.

"Suaramu terdengar sangat menyedihkan, tapi aku pun sama menyedihkannya denganmu." Bintang tertawa hambar di akhir kalimatnya. Baik dirinya atau pun si kucing, mereka memiliki persamaan, yaitu sama-sama terluka. Kucing itu terluka secara fisik, sedangkan Bintang terluka batinnya.

Telapak kaki depan kucing belang menyentuh ujung jari kaki Bintang. Dengan polosnya dia menatap Bintang, meskipun salah satu matanya tidak berfungsi sebaik biasanya.

Bintang merasakan dinginnya telapak kaki kucing yang menyentuh kulit jarinya. Memang, tidak sedingin angin malam yang berembus ataupun hatinya, tetapi melihat keadaan kucing itu, hati kecil Bintang mulai tergugah.

"Kamu memintaku merawatmu, hah?" Bintang berjongkok di depan kucing yang sontak mengeong atas pertanyaan yang diajukannya.

Tawa Bintang pecah. "Sepertinya jawabanmu iya, ya?"

Sekali lagi, Bintang memperhatikan kucing yang terluka itu. Darahnya telah terkuras banyak, tetapi tidak membuatnya menjadi lemah. Tidak tahu kapan luka itu akan sembuh, ataukah dia yang lebih dulu mati sebelum luka-lukanya sembuh, tetapi satu yang diyakini kucing itu dan dapat dilihat oleh Bintang ialah tekad dan semangat hidup yang dimiliki si kucing.

"Kamu masih bertahan dengan tubuh penuh luka seperti itu?" Bintang kembali bertanya dan kucing itu juga kembali mengeong.

Bintang diam di tempatnya selama beberapa detik sebelum memutuskan menggendong kucing itu dan membawanya pergi. Malam itu, ia memutuskan mencari klinik hewan terdekat. Namun, sayang, klinik hewan yang ada di sana telah tutup. Meskipun begitu, Bintang tidak patah semangat. Ia menggerakkan kakinya cepat dan kembali ke rumah sakit.

Bintang tidak yakin apakah tindakannya tepat, tetapi satu yang pasti ialah, ia harus menyelamatkan kucing itu. Itulah sebabnya Bintang meminta resep obat pada dokter. Dikarenakan sang dokter bukanlah dokter hewan, maka Bintang tidak mendapatkan informasi medis yang spesifik. Meskipun begitu, ia berterima kasih dan langsung membeli obat di apotek yang ada di rumah sakit tersebut.

Bintang kembali ke tempat di mana ia meninggalkan kucing belang itu, yaitu di halaman samping rumah sakit. Namun, kucing itu tidak berada di sana.

Bintang mengacak rambut frustrasi. "Ngapain, sih, Bintang? Kau sibuk ke sana kemari dan meminta kucing itu menunggumu di sini. Sekarang apa? Dia pergi begitu saja. Kau seharusnya tidak menaruh perhatian pada seekor kucing."

Bintang merasa usaha yang dilakukannya sia-sia dan memutuskan kembali ke rumah sakit dan menjaga Awan. Akan tetapi, langkahnya terhenti kala mendengar suara kucing mengeong.

"Pejuang, kamu di sini?" Bintang sumringah sembari berlari kecil menghampiri kucing belang yang entah sejak kapan diberinya nama Pejuang itu.

Pejuang duduk anteng di tempatnya sebelum Bintang memutuskan membubuhkan obat luka di tubuhnya. Dengan perlahan dan hati-hati Bintang mengobati luka Pejuang. Beruntung, Pejuang tidak rewel saat diobati. Tidak yakin apakah obat luka manusia akan berpengaruh pada hewan, tetapi sedikit banyaknya Bintang telah berusaha.

"Pejuang, cepat sembuh, ya," kata Bintang tanpa sadar mengelus puncak kepala Pejuang.

Dielus lembut seperti itu, tentunya Pejuang merasa sangat senang. Dia semakin menyodorkan kepalanya pada Bintang.

Sadar akan tindakannya, Bintang menarik tangannya dari kepala Pejuang. "Tanpa sadar aku merawat kucing yang entah sejak kapan kuberi nama Pejuang. Namanya juga aneh banget lagi," komentar Bintang atas tindakannya sendiri.

"Secara gak langsung Pejuang telah menyelematkanku dari keinginan bunuh diri. Melihatnya yang penuh luka membuatku melihat diri sendiri, tapi Pejuang jauh lebih hebat. Dia mampu bertahan dan merasa hidupnya harus diperjuangkan meskipun dipenuhi banyak luka seperti itu." Bintang kembali bermonolog. Dapat dilihatnya Pejuang memakan makanan yang dibawanya dengan lahap.

"Aku merasa malu dengan diri sendiri. Di sini, bukan hanya aku yang terluka, tapi Pejuang atau bahkan orang lain pun terluka. Mereka gak pernah menyerah, sedangkan aku belum apa-apa sudah menyerah. Apa kata ayah dan ibu saat bertemu di surga nanti kalau anaknya mudah sekali menyerah? Mereka pasti kecewa."

Pertemuan Bintang dengan Pejuang secara tidak langsung mengubah pola pikir Bintang. Keinginan untuknya mengakhiri hidup pun sudah tidak ada lagi. Sebagai seorang laki-laki dan anak sulung, tidak seharusnya ia mudah menyerah. Merasa sedih atas kehilangan orang tua tentunya merupakan hal yang lumrah, tetapi semuanya telah terjadi dan waktu pun tidak dapat diputar kembali.

"Yah, saatnya ikhlas. Seperti Pejuang yang ikhlas mendapatkan luka tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku pun demikian. Akan kuperjuangkan kembali hidupku dan hidup Awan. Akan menjadi penyesalan besar bagiku jika gak bisa menjaga Awan. Dia akan sangat hancur jika tahu ayah, ibu atau bahkan aku pergi meninggalkannya." Mata Bintang kembali memancarkan cahaya yang sebelumnya sempat redup.

"Mulai hari ini, namamu Pejuang, ya, Cing. Besok, akan kubawa kamu ke klinik hewan. Jadi, jangan mati dulu, ya. Tetaplah berjuang dengan hidupmu dan aku pun akan melakukan hal yang sama." Bintang berucap sembari memerhatikan Pejuang lekat-lekat.

"Terima kasih, Pejuang, karena telah menghampiriku hari ini."

Bersambung...

Malam Tanpa Bintang [TERBIT]Where stories live. Discover now