6. Awan

7 2 0
                                    

Blubell dibawa cepat oleh Bintang menyusuri jalanan padat merayap. Senyuman lebar merekah di bibirnya sejak ia meninggalkan ekspedisi pengiriman barang. Lebih tepatnya setelah ia berbicara dengan seorang suster yang merawat dan menjaga Awan.

"Alhamdulillah." Bintang tidak henti-hentinya mengucapkan syukur. Ia benar-benar senang hari ini. Banyak hal baik yang terjadi dan kabar baik pun menghampirinya. Semoga, hari-hari baik selalu menghampiri Bintang dan Awan.

Memarkirkan Blubell, Bintang berlari cepat melewati lorong-lorong rumah sakit. Ia tahu sikapnya tidak pantas dilakukan saat berada di rumah sakit, tetapi rasa senangnya begitu membuncah. Tidak hanya berlari, ia bahkan bisa melompat tinggi. Namun, hal tersebut terlalu berlebihan dan tidak pantas dilakukan.

"Bagaimana keadaan Awan, Dok?" Bintang bertanya sesaat setelah dokter yang menangani Awan keluar dari ruang rawat tersebut.

"Keadaannya sudah stabil dan Mas Bintang bisa melihatnya sendiri," jawab sang dokter.

Bintang mengangguk. "Terima kasih, Dok," ucapnya sebelum melangkah memasuki ruang rawat sang adik.

Sejenak, langkah Bintang berhenti. Netranya berkaca-kaca saat melihat sang adik duduk di ranjang rumah sakit. Namun, ia tidak akan menangis kali ini. Tidak ada alasannya untuk menumpahkan air mata itu kembali.

"Kak Bintang."

Panggilan yang sangat dirindukan itu kembali terdengar. Tanpa aba-aba, butiran bening itu jatuh begitu saja. Sudah dikatakan sebelumnya jika Bintang tidak ingin menangis, tetapi air matanya bergerak sendiri dan luruh tanpa bisa dibendung.

"Awan!" Bintang berlari menghampiri sang adik lalu memeluknya erat. Menyalurkan kehangatan yang sempat hilang untuk beberapa saat.

"Kak Bintang kenapa nangis?" Awan bertanya bingung pada sang kakak.

"Kakak senang," jawab Bintang seadanya.

"Kakak senang karena menenangkan undian? Tapi kenapa nangis?" Awan kembali bertanya. Ia tidak mengerti mengapa Bintang merasa senang, tetapi ia menangis.

"Kakak senang, sampai-sampai menangis seperti ini. Kakak gak memenangkan undian, tapi karena kamu, Awan. Kakak senang karena akhirnya kamu bangun juga," tukas Bintang memberikan sedikit penjelasan.

Awan melepaskan pelukan Bintang. "Memangnya Awan kenapa, Kak? Awan baik-baik saja, kan?" Anak laki-laki itu kembali bertanya.

Bintang mengelus puncak kepala Awan. "Iya, kamu baik-baik saja sekarang. Kamu lapar gak? Kakak bawa makanan untukmu."

Melihat kantung kresek di depannya, mata Awan berbinar. Tanpa basa-basi lagi, ia langsung melahap makanan yang dibeli sang kakak. Entah karena tidak sadar atau apa, Awan tidak memperhatikan sekitarnya. Ia juga tidak bertanya mengapa ia berada di rumah sakit, bukannya di rumah.

Tidak butuh waktu lama bagi Awan untuk menghabiskan seluruh makanan yang dibawa Bintang untuknya. "Awan sampai lupa menyisakan makanannya untuk Kakak." Anak laki-laki itu berucap  dengan kepala yang ditundukkan.

Tindakan Awan memecah tawa Bintang. "Gak papa. Makanan itu Kakak beli untuk kamu. Habiskan saja semuanya. Kakak beli khusus untuk kamu," jelas Bintang sembari mengelus gemas puncak kepala sang adik.

"Makasih, Kak Bintang," balas Awan sumringah.

Bintang memperhatikan adiknya lekat-lekat. Ia senang melihat sang adik sudah berhasil melewati masa-masa kritisnya. Namun, di lain sisi, ia merasa kasihan melihat keadaan Awan. Luka-lukanya belum sembuh dan masih terlihat jelas. Terdapat luka bakar di lengan, bahkan di sebagian sisi wajah Awan. Ia tidak tega melihat keadaan anak itu.

Awan gak sadar atau apa? Dia gak bertanya apa pun. Luka di lengannya dia pasti bisa melihatnya, tapi dia diam saja. Bintang bermonolog dalam hati. Ia bertanya-tanya apakah Awan benar tidak menyadari apa yang telah terjadi atau mungkin ia melupakannya?

"Kak, ini Awan lagi di rumah sakit, ya?"

Pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan Awan seketika membuat Bintang tersentak kaget. "E-eh, iya. Kamu di rumah sakit. Kenapa? Ada yang sakit?"

Awan menggeleng. "Gak ada, Kak. Awan baik-baik saja, kok," jawabnya singkat.

"Syukurlah. Kakak sempat khawatir."

"Awan dibawa ke sini karena terluka akibat kebakaran, ya, Kak?" Ternyata, Awan sadar apa telah terjadi dan menimpanya, tetapi memilih melihat situasi terlebih dahulu.

"Iya, Awan. Kamu terluka cukup parah dan dirawat di sini. Sekarang, keadaanmu sudah lebih stabil."

"Ayo kita pulang saja, Kak. Awan gak suka lama-lama tidur di rumah sakit," ajak Awan seraya menarik tangan Bintang. Ia hendak turun dari ranjang, tetapi Bintang melarangnya.

"Kamu baru bangun, Awan. Akan Kakak tanyakan terlebih dahulu pada dokter apakah kamu udah boleh pulang atau belum."

Bintang beranjak meninggalkan tempat duduknya sebelum meninggalkan ruangan tersebut. "Cepat atau lambat, Awan akan tahu kebenaran bahwa ayah dan ibu sudah meninggal, tapi aku takut memberitahukannya. Aku takut Awan gak bisa menerima kebenaran ini dan membuat keadaannya memburuk."

Bintang bingung harus berbuat apa. Segala konsekuensi dari setiap tindakannya tentu saja ada. Apakah itu akan berakibat baik atau buruk pada Awan? Entahlah. Bintang hanya bisa memikirkan konsekuensi terburuk dari segala tindakannya. Di satu sisi, ia tidak ingin berbohong mengenai kematian kedua orang tua mereka, tetapi di sisi lain, ia takut keadaan Awan akan semakin memburuk jika mengetahui fakta menyakitkan ini.

Awan masih begitu kecil untuk mengetahui fakta menyakitkan itu. Bintang yang dapat dikatakan sudah dewasa saja tidak bisa menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya telah meninggal. Bagaimana dengan Awan? Apa yang harus dilakukannya? Lebih baik berbohong atau jujur pada Awan?

Bersambung...

Malam Tanpa Bintang [TERBIT]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ