5. Hari Baik

7 2 0
                                    

Istana yang menjadi tempat berlindung dan penuh kenangan itu kini sudah tidak ada lagi. Hanya tersisa puing-puing reruntuhan serta kepedihan yang masih sangat terasa. Memori ingatan yang merekam kejadian tidak bersahabat itu masih terlihat jelas dalam ingatan. Ada rasa sakit yang muncul, tetapi Bintang sudah memutuskan tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Ia akan mencari barang-barang berharga yang mungkin bisa diselamatkan.

Terhitung sudah dua hari musibah kebakaran itu terjadi, tetapi Bintang sudah tidak lagi mengenali rumahnya sendiri. Bangunan yang menjadi tempat berlindungnya dari terik matahari dan dinginnya hujan tidak lagi berbentuk. Bintang berupaya menemukan sesuatu sana.

"Syukurlah masih ada beberapa barang yang masih bisa diselamatkan," ucap Bintang sembari menghela napas lega.

Barang-barang yang bisa disematkan ialah lemari yang mengalami sedikit kerusakan, lalu ada sepeda milik Awan dan beberapa peralatan makan. Bintang memutuskan menjual barang-barang yang dianggap layak pakai guna mendapatkan uang. Bagaimanapun juga, ia harus menemukan rumah baru dan membayar biaya rumah sakit Awan.

Meskipun harganya jauh lebih murah, tetapi Bintang tetap bersyukur, karena masih ada orang baik yang membeli barang-barangnya dengan harga lebih tinggi. Sekarang, waktunya bagi Bintang untuk mencari rumah kontrakan yang menjadi tempat bernaungnya yang baru.

"Semua sudah selesai. Tinggal menunggu Awan sembuh dan bawa dia pulang ke rumah baru." Monolog Bintang pada diri sendiri.

Keringat yang mengucur dari pelipis Bintang sampai ke leher dan punggungnya. Melakukan banyak aktivitas membuat tenaganya terkuras banyak. Apalagi membersihkan rumah baru yang sudah lama tidak ditempati. Bintang berulang kali bersin saat menghirup udara yang bercampur dengan debu itu.

"Sebaiknya aku kembali ke rumah sakit," kata Bintang sebelum meraih sepeda motor yang terparkir di depan rumah kontrakannya.

Sepeda motor itu Bintang bahkan tidak mengingatnya. Bintang terlalu fokus dengan keluarga dan kesedihannya sendiri sampai tidak menyadari sepeda motornya tidak berada di dekatnya. Beruntung, keluarga Cahaya mengamankan sepeda motor tersebut dan menyimpannya di garasi rumah.

"Maafkan aku, Blubell." Bintang mengelus pelan sepeda motornya itu. Pasalnya, ia benar-benar melupakan Blubell.

Bersama Blubell, Bintang telah melalui banyak hal bersama. Dapat dikatakan Blubell merupakan teman yang menemani setiap langkahnya. Namun, di saat ia berada di titik terendah hidupnya, Blubell tidak berada di sampingnya. Bukannya tidak ingin, tetapi Blubell tidak bisa melakukan apa-apa, sebab Bintang melupakannya.

Blubell dibawa dengan kecepatan sedang membelah jalanan. Bintang menikmati embusan angin yang menerpa kulitnya dengan tenang. Saat ini, hatinya sudah membaik. Ada banyak hal baik pula yang terjadi padanya.

Dering ponsel mengalihkan perhatian Bintang. Ia lalu menepikan sepeda motornya ke pinggir jalan sebelum menjawab panggilan telepon tersebut. Tidak hanya melupakan Blubell, ia juga melupakan pekerjaannya. Sebagai seorang kurir, ada banyak paket yang menunggu kembali ke pangkuan pemiliknya.

"Maaf, Pak. Saya benar-benar lupa dengan pekerjaan saja. Segera saya meluncur ke lokasi. Hari ini, akan saya antar semua paket yang ada," ucap Bintang menenangkan bos ekspedisi pengiriman barang tersebut.

"Bisa-bisanya aku lupa dengan pekerjaan sendiri. Untungnya pak Man mengerti dengan keadaanku dan gak mengambil keputusan sepihak untuk memecatku." Bintang bermonolog seraya memasukkan ponsel ke saku celana. Dibawanya Blubell meninggalkan jalanan tersebut dengan kecepatan penuh.

Tidak butuh waktu lama bagi Bintang sampai ke kantor ekspedisi. Tanpa basa-basi lagi, ia membawa semua paket-paketnya dan mengantar ke masing-masing pemilik. Tidak lupa ia mengucapkan kata maaf pada para pelanggan yang telah menunggu paket-paket mereka.

"Capek," gumam Bintang disertai embusan napas panjang. Ia duduk bersandar di dinding dengan kaki terentang dan sebuah topi yang dijadikan sebagai kipas dadakan.

"Minum dulu, Bintang." Seorang pria paruh baya menyerahkan sebotol air mineral sebelum mendudukkan diri di depan Bintang.

Dengan cepat Bintang menarik kaki lalu melipatnya sebelum menerima air mineral tersebut. "Terima kasih, Pak Man," ucapnya.

Pria yang dipanggil pak Man itu mengangguk. "Sama-sama," balasnya. "Kamu baik-baik saja, Bintang?" Pria itu bertanya sedikit ragu. Takut pertanyaannya menyinggung hati Bintang.

"Alhamdulillah saya baik-baik saja, Pak," balas Bintang singkat.

Pak Man menghela napas lega. "Syukurlah. Sejujurnya saya ingin minta maaf, karena telah memintamu untuk bekerja hari ini. Bukannya saya tidak prihatin, tetapi kamu tahu sendiri kita kekurangan anggota. Saya turut berduka atas musibah yang terjadi padamu. Saya harap kamu dapat mengikhlaskan kepergian mereka."

"Terima kasih, Pak. Saya mengerti maksud Bapak. Mengikhlaskan itu memang sulit. Saya bahkan kehilangan semangat untuk mempertahankan hidup, tapi sekarang saya sadar bahwa saya harus bertahan dengan hidup yang saya miliki meskipun berat. Saya akan mencoba mengikhlaskan kepergian kedua orang tua saya," balas Bintang disertai senyuman.

Pak Man juga ikut tersenyum. "Setiap manusia akan diuji dan ujian yang diberikan tidak akan melewati batas kemampuan kita. Saat ini kamu sedang mendapatkan ujian berat, tetapi kamu pasti bisa melewatinya. Semangat, ya, Bintang. Kalau kamu perlu apa-apa, jangan sungkan memberitahukannya pada saya."

"Baik, Pak. Terima kasih." Bintang membalas seadanya. Tidak disangka jika ia dikelilingi oleh orang-orang baik.

Ponsel di dalam saku kembali berbunyi. Menciptakan kerutan tipis di kening Bintang. "Rumah sakit?"

Bersambung...

Malam Tanpa Bintang [TERBIT]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن