7. Kembali Pulang

7 1 0
                                    

Bintang mengamati Awan dalam diam. Anak laki-laki itu belum diperbolehkan pulang oleh dokter meskipun sang empu sudah sangat menginginkannya. Di ranjang yang tidak senyaman ranjang di rumahnya, Awan terlelap dengan nyenyak.

"Aku terpaksa berbohong," gumam Bintang disertai embusan napas panjang.

Ingatan Bintang kembali berputar ke beberapa jam lalu. Setelah dipusingkan dengan pikirannya sendiri, Bintang tanpa sadar membuat keputusan berbohong pada Awan. Ia tidak bermaksud melakukannya dengan sengaja. Mulutnya bergerak dengan sendirinya. Yah, mungkin ini merupakan keputusan yang tepat.

Awan bertanya perihal kedua orang tuanya. Apakah mereka dalam keadaan baik-baik saja atau tidak. Jika sedang dirawat, ia berkeinginan untuk menjenguknya. Namun, Bintang hanya mengatakan kedua orang tua mereka dalam keadaan baik-baik saja dan Awan diminta untuk beristirahat.

"Tapi Awan mau lihat ayah dan ibu, Kak. Mereka baik-baik saja, kan?" Awan kembali bertanya setelah merasa tidak puas dengan jawaban Bintang.

"Baik-baik saja, kok, Awan. Kamu istirahat saja terlebih dahulu. Kamu mau pulang, kan? Keadaanmu harus baik-baik saja, jika ingin pulang. Dokter gak akan mengizinkanmu pulang kalau keadaanmu gak baik," tukas Bintang memberikan sedikit penjelasan.

Awan mengembuskan napas panjang. "Ya udah, deh, Kak. Aku istirahat dulu," katanya lalu berbaring.

Sementara waktu ini, biarlah Awan merasa kedua orang tua mereka dalam keadaan baik-baik saja agar tidak membuat kondisinya semakin memburuk. Baru saja Awan terbangun dari komanya, itu sebabnya Bintang tidak ingin suatu hal buruk kembali terjadi pada adiknya.

"Yang penting Awan dalam keadaan baik-baik saja. Gimana-gimana ke depannya, pikirkan nanti saja." Monolog Bintang sebelum merebahkan diri di sofa.

***

Bintang merasakan sesuatu di perut yang membuatnya mual. Sontak saja kedua kelopak matanya terbuka, meskipun ia belum siap sama sekali. Bintang masih ingin terlelap, tetapi Awan tidak mengizinkannya.

"Awan, kamu ngapain?" Bintang bertanya sesaat setelah melihat Awan berada di perutnya.

"Ayo bangun, Kak," kata Awan seraya menarik tangan sang kakak.

"Ini baru jam berapa? Kamu kelihatan sangat bersemangat." Bintang bertanya heran pada sang adik yang terlihat sangat bersemangat pagi ini.

"Iya dong, Kak. Hari ini, kan, jadwal Awan pulang dari rumah sakit. Awan tentunya semangat. Udah kangen rumah," jawab Awan antusias.

Bintang mengulas senyum tipis sebelum mengusap puncak kepala Awan. "Kak Bintang tahu, tapi kita gak bisa pergi sepagi ini. Kamu tidur saja lagi," katanya pada sang adik. Jarum jam masih menunjukkan pukul lima pagi, tetapi Awan sudah sangat bersemangat untuk pulang ke rumah hari ini.

Awan menggelembungkan pipinya kesal sebelum kembali ke ranjang. Ia tidak memiliki pilihan selain menuruti perkataan Bintang.

Melihat tingkah adiknya yang sangat bersemangat kembali ke rumah, membuat perasaan Bintang tidak karuan. Rumah mereka sudah habis terbakar. Lantas, rumah mana yang dimaksud oleh Awan? Bintang telah menemukan tempat tinggal baru, tetapi tidak yakin apakah Awan akan menyukainya. Awan tentunya tidak berpikir jika rumah mereka telah habis terbakar, tanpa bisa ditempati sama sekali.

Setelah dibangunkan secara paksa oleh Awan, Bintang tidak bisa kembali terlelap. Ia memilih meninggalkan ruang rawat Awan dan berlari-lari kecil di sekitar rumah sakit, sampai pagi menjelang. Setelah merasa tubuhnya kembali bugar, Bintang memutuskan mengurus izin kepulangan dan administrasi Awan.

"Awan, ayo kita pulang," ajak Bintang seraya memasuki ruang rawat Awan.

Awan terlihat sudah siap dan mereka pergi meninggalkan rumah sakit. Sebelum bergerak lebih jauh, Bintang mengajak Awan sarapan bubur bersama di sebuah warung yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah sakit.

Awan memakan buburnya dengan lahap, tanpa mempedulikan tatapan orang-orang yang ada di warung itu. Luka di sebagian wajah Awan menarik perhatian orang lain. Namun, baik Awan ataupun Bintang, mereka sama-sama tidak ambil pusing. Toh, mereka tidak mengganggu orang lain. Apa salahnya dengan itu? Mereka baru saja mengalami musibah yang orang lain tidak tahu. Lantas, mengapa mereka ditatap dengan tidak bersahabat seperti itu?

"Ini bayaran saya, Pak," ucap Bintang seraya menyerahkan uang pada pemilik warung tersebut.

"Terima kasih, Dek," balas si pemilik warung tersebut.

"Saya ada sedikit saran, Pak. Lebih baik Bapak fokus saja dengan apa yang harus Bapak lakukan. Tanpa perlu menatap orang lain dengan pandangan tidak bersahabat seperti itu. Bapak tidak tahu, kan, apa yang telah terjadi pada orang yang Bapak tatap seperti itu?" Bintang berucap sebelum pamit pergi meninggalkan pemilik warung tersebut yang terdiam di tempatnya tanpa kata.

"Ayo kita pulang, Awan," ajak Bintang pada sang adik. Keduanya bergerak cepat meninggalkan warung tersebut.

Blubell dibawa dengan kecepatan sedang menyusuri jalanan. Angin yang berembus berhasil membuat bulu kuduk meremang. Meskipun begitu, Awan menikmati embusan angin, terlebih waktu yang dihabiskannya bersama Bintang. Sebentar lagi, mereka akan kembali pulang ke rumah.

"Kak Bintang, Awan udah gak sabar pulang ke rumah," kata Awan sembari memeluk erat Bintang.

Bintang tersenyum getir. "Iya, Kakak juga gak sabar," balasnya seadanya.

Bersambung...

Malam Tanpa Bintang [TERBIT]Where stories live. Discover now