14. Ucapan Kepala Sekolah

4 1 0
                                    

Bintang tidak dapat tidur dengan tenang. Hanya untuk sekadar menutup mata saja pun, sangat sulit dilakukannya. Perasaan tidak nyaman menghantuinya di malam tanpa cahaya penerangan lampu itu. Jika boleh jujur, maka perasaan Bintang sangat campur aduk. Ia senang dikarenakan di ruangan itu tidak ada pencahayaan, tetapi di lain sisi, ia merasa cemas dan takut.

Aku gak bisa tenang, ucap Bintang dalam benaknya. Diliriknya Awan yang tertidur pulas dengan tangan yang diletakkan di atas perutnya. Awan menempel di dekat Bintang guna meminimalisir rasa takutnya.

Apa yang kulihat tadi apakah benar? Atau aku hanya sangat kelelahan sampai berhalusinasi seperti itu? Bintang kembali bertanya pada diri sendiri. Ia tidak ingin memikirkan hal-hal buruk, tetapi apa yang beberapa saat lalu dilihat Bintang benar-benar tidak bisa hilang dari pikirannya.

"Sudahlah, lupakan saja apa yang aku lihat tadi. Besok, aku harus ke sekolah Awan untuk bicara langsung dengan gurunya," kata Bintang lagi sebelum menutupi kelopak mata. Ia berusaha tenang dan terlelap.

***

Sinar mentari pagi yang muncul dari sela-sela gorden membangunkan Bintang yang masih betah menutup kelopak matanya. Merasa sedikit terganggu, Bintang bangkit dari posisi tiduran sembari mengucek mata.

Dapat dilihatnya Awan yang masih terlelap. "Bangun, Awan," ucapnya sembari mengguncang tubuh sang adik.

Awan berdehem pelan sebelum membuka kelopak matanya. "Udah pagi, ya, Kak?" tanyanya memastikan.

"Iya. Kamu mandi sana. Kakak akan siapkan sarapan untuk kita," kata Bintang yang langsung dituruti oleh Awan.

Awan beranjak dari tempat tidur dengan kelopak mata yang terbuka separuh. Langkahnya begitu lambat meninggalkan kamar tersebut. Meskipun begitu, Awan selalu senang bersekolah. Ia senang bertemu dengan teman-teman dan dapat bermain bersama mereka.

"Saatnya membuat sarapan," gumam Bintang juga ikut beranjak dari tempat tidur.

Pagi ini, Bintang membuat menu sarapan yang sangat sederhana, yaitu hanya nasi putih yang dilengkapi telur mata sapi dan kerupuk. Awan tidak lupa pula membubuhkan kecap di atas telur mata sapinya saat makan.

"Ayo cepat, Kak. Nanti Awan terlambat," kata Awan sedikit berteriak. Anak laki-laki itu sudah siap dengan seragam sekolahnya.

"Iya, Awan, sebentar," balas Bintang yang juga berteriak. Saat ini, ia tengah berada di kamar mandi. "Ayo berangkat," ajak Bintang setelah selesai dengan urusannya.

Dikarenakan pagi ini Bintang dan Awan bangun sedikit terlambat, maka waktu tempuh perjalanan mereka menjadi lebih singkat. Bintang memacu Blubell dengan kecepatan penuh. Tidak butuh waktu lama bagi Bintang sampai di sekolah Awan.

"Tepat waktu. Kamu gak terlambat, Awan," ucap Bintang sumringah. Ia berhasil mengantar Awan ke sekolah tepat waktu.

"Awan sekolah dulu, ya, Kak." Awan berpamitan sebelum memasuki gerbang sekolah lebih dalam.

Bintang memperhatikan pergerakan Awan. Netranya diarahkan ke bawah, tepatnya pada tanah di lingkungan sekolah tersebut. "Saatnya kau bicara dengan kepala sekolah, Bintang," gumamnya pada diri sendiri sebelum beranjak dari sepeda motor.

Bintang mengetuk pintu ruang kepala sekolah beberapa kali. Seorang wanita berambut sebahu mempersilakannya masuk. Wanita itu menyambut baik kedatangan Bintang dengan senyum ramah dan tatapan hangat.

"Kebetulan sekali Nak Bintang datang ke sini," ucap wanita itu dengan senyuman.

Ucapan sang kepala sekolah menciptakan kerutan tipis di kening Bintang. "Apakah ada yang ingin Ibu bicarakan dengan saya?" tanyanya memastikan.

Wanita itu mengangguk. "Benar sekali. Saya ingin bicara perihal Awan."

"Kedatangan saya ke sini juga ingin membicarakan Awan, Bu. Saya hanya ingin bertanya, mengapa guru yang mengajar di kelas Awan menghiraukan Awan yang menjawab pertanyaannya. Apakah hal itu dilakukan sengaja dengan tujuan memberikan kesempatan pada murid lain? Jika begitu, seharusnya dikatakan saja, Bu. Awan jadi sedih karena merasa ia tidak dipedulikan oleh guru, bahkan teman-temannya. Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, oleh sebab itu saya datang meminta penjelasan," tukas Bintang mengutarakan maksud kedatangannya.

Sebelah alis kepala sekolah itu terangkat. "Nak Bintang, jangan bercanda. Awan sudah tidak ada. Bagaimana bisa dia belajar di sekolah," balasnya disertai tawa hambar.

Bintang tidak bisa menyembunyikan ekspresi bingung yang tergambar jelas di wajahnya. "Maksudnya apa, ya, Bu? Kemarin dan hari ini, saya mengantar Awan ke sekolah. Awan gak pernah pergi ke mana-mana, Bu. Awan ada di sekitar saya, bahkan di sekolah ini."

Penjelasan Bintang membuat kepala sekolah mengembuskan napas panjang. "Saya turut prihatin atas apa yang menimpa keluargamu. Kamu kehilangan orang tua di musibah kebakaran itu, tetapi kesedihanmu jangan berlarut-larut, Nak Bintang. Kamu harus mengikhlaskan kepergian mereka, termasuk Awan. Mereka telah mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Tentu berat, tetapi kamu harus melanjutkan kehidupanmu. Melangkahlah maju tanpa melihat ke belakang."

Bintang membalas ucapan kepala sekolah dengan tawa. "Sebenarnya ibu sedang membicarakan apa? Saya ikhlas menerima kepergian orang tua saya dan memutuskan menjadi kakak sekaligus orang tua yang baik untuk Awan, tapi kenapa ibu mengatakan seolah-olah Awan udah meninggal? Sepertinya orang tua saya salah menyekolahkan Awan di sini."

Bintang bangkit dari posisi duduknya lalu berbalik. Ucapan kepala sekolah lagi-lagi membuatnya geram. Ia mengepalkan tangan lalu pergi meninggalkan kepala sekolah yang menatapnya dengan penuh prihatin.

Bersambung...

Malam Tanpa Bintang [TERBIT]Where stories live. Discover now