4. Kembalinya Bintang

11 2 0
                                    

Hari ini, matahari bersinar terang. Sama seperti hati Bintang yang kembali menghangat. Kabar baik tentang Awan yang sampai ke telinga Bintang membuatnya lega. Keadaan Awan sudah stabil, tetapi Awan belum juga menunjukkan tanda-tanda bangun dari tidurnya. Meskipun begitu, Bintang yakin dan percaya bahwa adiknya mampu bertahan serta memperjuangkan hidupnya.

"Syukurlah keadaan Awan sudah lebih baik. Semoga, keadaan Pejuang juga membaik." Monolog Bintang seraya menggerakkan kaki menuju halaman samping rumah sakit.

Seulas senyum terbit di bibir Bintang. Di sana terbaring Pejuang yang diliputi hangatnya cahaya matahari.  Tanpa basa-basi lagi, Bintang berjongkok di samping Pejuang lalu mengelus pelan kepala si kucing belang itu.

"Kamu bangun?" Bintang sontak bertanya sesaat setelah Pejuang mengangkat kepala.

Pejuang menggosokkan kepalanya pelan ke telapak tangan Bintang seakan meminta dielus lebih lama lagi.

"Kamu manja juga, ya," komentar Bintang sebelum mengelus kepala Pejuang sambil sesekali beralih ke lehernya. Pejuang sangat menikmati sentuhan Bintang.

"Bintang!"

Panggilan dari seseorang seketika mengalihkan perhatian Bintang dari Pejuang. Terlihat Cahaya yang memperkecil jarak di antara mereka.

"Kamu ngapain di sini?" Cahaya bertanya bingung.

Bintang bangkit dari posisi jongkoknya. "Cuma menyapa seekor kucing," jawabnya.

Cahaya yang penasaran menoleh ke belakang punggung Bintang. Pejuang menatap dengan mata besarnya. "Kucingnya terluka," komentar Cahaya.

"Iya. Aku mau mau dia ke klinik hewan," kata Bintang seadanya.

Cahaya mengangguk mengerti. "Ya sudah, kamu bawa dia ke klinik sekarang sebelum lukanya bertambah parah."

"Akan kulakukan, tapi kamu ke sini mau jenguk seseorang?" Bintang bertanya bingung. Masih pagi begini, Cahaya sudah datang ke rumah sakit. Siapa yang ingin dijenguknya?

Cahaya mengangguk. "Aku mau jenguk Awan. Bagaimana keadaannya? tanya gadis berhijab itu. "Ah, iya, aku bawa makanan juga untukmu." Cahaya menyodorkan rantang makanan.

Bintang menerima makanan tersebut. "Makasih, ya. Kamu sampai repot-repot begini," ucapnya tanpa melunturkan senyum. "Keadaan Awan sudah stabil, meskipun dia belum bangun. Tapi aku yakin Awan mampu mempertahankan hidupnya."

Melihat Bintang tersenyum, membuat Cahaya pun ikut menyunggingkan senyum. "Alhamdulillah. Aku ikut senang mendengarnya. Aku juga senang karena kamu sudah terlihat seperti biasanya. Kamu sudah kembali tersenyum."

"Eh? Sebelumnya aku gak pernah tersenyum?" Bintang bertanya heran. Apakah keadaannya separah itu sampai tidak pernah lagi menyunggingkan senyum?

"Iya. Musibah kebakaran yang merenggut nyawa kedua orang tuamu juga ikut merenggut senyummu. Kamu terlihat murung sekali. Aku sangat khawatir dan takut jika kamu melakukan suatu hal yang membahayakan. Syukurlah kamu baik-baik saja." Cahaya berucap lega di akhir penuturannya.

"Yah, kuakui aku merasa sangat kehilangan. Aku juga menyalahkan diri sendiri. Kenapa aku gak ada di rumah saat kebakaran itu terjadi? Yah, seperti itulah. Tentu aku sedih karena kehilangan cahaya yang selama ini menuntunku, tapi mau sampai kapan? Hidupku, ya, diriku sendiri yang bertanggungjawab atas itu. Juga, Awan membutuhkanku sebagai seorang kakak dan pengganti orang tua kami. Aku gak mungkin meninggalkannya sendirian."

"Aku tahu kamu bisa melewati cobaan ini, Bintang. Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi aku. Sebisa mungkin aku akan membantu."

"Iya, makasih, ya, Cahaya." Bintang kembali berucap dengan senyuman yang terlukis di bibirnya.

Sebelum pergi ke klinik hewan, Bintang terlebih dahulu memakan makanan yang diberikan Cahaya padanya. Menu sarapan tentunya tidak berat-berat. Hanya nasi goreng dengan potongan telur dan sosis yang ada dalam rantang makanan tersebut. Bintang memberikan beberapa potong sosis pada Pejuang sebelum mereka pergi ke klinik hewan.

Tidak butuh waktu lama bagi Bintang menghabiskan nasi gorengnya. Segera ia pergi membawa Pejuang ke klinik hewan. Di sana, Pejuang mendapatkan perawatan dari tenaga profesional. Menurut pengakuan dokter hewan, Pejuang mendapatkan luka yang diperbuat oleh orang-orang tidak bertanggungjawab. Mereka melukai dan menganiaya Pejuang atau bahkan hewan tidak berdosa lainnya.

"Dasar orang-orang gak punya hati nurani," ucap Bintang sebagai respon penjelasan sang dokter.

Pria berkacamata itu tertawa. "Hati nurani mereka mungkin sudah mati dan beruntung Pejuang bertemu dengan seseorang seperti Anda. Masih ada orang baik yang membantu membawanya ke sini."

"Saya gak melakukan apa-apa, Dok. Justru, orang baik itu adalah dokter. Merawat dan mengobati hewan-hewan terluka bukanlah hal yang mudah dan saya gak tahu sudah berapa banyak hewan yang telah dokter selamatkan."

"Tidak semua nyawa saya selamatkan," sahut dokter tersebut. Bintang menatap dengan kening berkerut.

"Terkadang saya tidak berhasil menyelamatkan nyawa hewan-hewan yang terluka itu. Saya merasa sedih dan sering menyalahkan diri sendiri." Tanpa sadar, dokter itu membicarakan sedikit tentang dirinya pada Bintang.

"Jangan bicara begitu. Dokter telah bekerja dengan sangat baik. Semua yang telah terjadi bukan kesalahan dokter. Lagipula, menyalahkan diri sendiri juga gak akan merubah apa pun." Bintang berucap sedikit keras. Bagaimanapun juga, ia paham betul dengan perasaan sang dokter.

Dokter berkacamata itu mengangguk. "Terima kasih atas kata-kata penyemangatnya," ucapnya singkat. "Saya sudah memberikan obat pada Pejuang. Anda boleh membawanya pulang atau dibiarkan tinggal di sini."

"Saya baru saja mengalami musibah, Dok. Saya titip Pejuang di sini." Sementara ini, Bintang menginap di rumah sakit. Ia tidak mungkin membawa Pejuang masuk ke rumah sakit, apalagi sampai masuk ke ruang rawat pasien.

Bintang mengelus puncak kepala Pejuang. "Cepat sembuh, Pejuang. Aku akan kembali lagi untuk mengecek keadaanmu. Doakan juga Awan cepat bangun, ya. Setelah itu, kamu, aku dan Awan akan tinggal bersama. Akan kupastikan kamu mendapatkan tempat tinggal yang nyaman," tukas Bintang sebelum pergi meninggalkan klinik hewan tersebut.

Bintang menghirup dalam oksigen lalu mengembuskannya perlahan. "Aku sebaiknya mampir ke rumah," gumamnya sebelum membawa kedua kaki itu melangkah jauh meninggalkan klinik hewan.

Bersambung...

Malam Tanpa Bintang [TERBIT]Where stories live. Discover now